Selasa, 08 Februari 2011

KHALIFAH

Khalifah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat islam.

Apa Arti Khalifah?
       Islam memandang manusia sebagai khalifatullah, yakni khalifah Allah. Itulah hakikat manusia. Namun apakah dalam kenyataannya setiap manusia itu khalifatullah ? Bukankah di antara mereka ada yang kafir ?
Lalu apa yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifatullah ? Atau bagaimana manusia menjadi khalifatullah ?Sebelum pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab, maka terlebih dahulu harus dipahami arti khalifah itu sendiri.
Khalifah atau khilafah, berasal dari akar kata khalaf yang berarti di belakang punggung, meninggalkan sesuatu di belakang atau sesuatu yang menempati tempat sesuatu yang lain. Al-Qur’an menyebut kata khalifah atau khilafah dengan berbagai turunannya. Selain itu, Al-Qur’an menggunakan kata khalifah untuk manusia dan untuk selain manusia.
Misalnya, ayat yang berbunyi, “Dialah yang menciptakan malam dan siang silih berganti (malam menempati siang dan siang menempati malam), bagi mereka yang mau berpikir atau bersyukur.” (QS. Al-Furqan : 62)
Ketika kata khalifah digunakan untuk manusia, kata ini mempunyai arti yang netral. Maksudnya bisa untuk kebaikan dan bisa pula untuk keburukan.
Lalu datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang melalaikan shalat dan mengikuti hawa napsu. Mereka kelak niscaya akan mendapatkan kesesatan.”(QS. Maryam : 59).
Atau firman-Nya yang berbunyi, “Maka datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang mewarisi kitab.” (QS. Al-Araf : 169).
Tetapi ketika kata khalifah disandarkan (di-idhafah-kan) kepada Allah atau Rasulullah, maka kata itu mengandung arti yang positif. Maksudnya jika yang diganti (al-mustakhlif) baik, maka yang menggantikannya (khalifah, mustakhlaf) harus baik juga. Andaikata tidak, maka akan merusak reputasi mustakhlif.
Manusia adalah khalifah dari Allah dan Allah adalah puncak segala kebaikan dan kesempurnaan. Dengan demikian manusia adalah titisan dari kebaikan dan kesempurnaan-Nya.
Jadi manusia berkedudukan sebagai wakil atau pengganti Allah di muka bumi. Yaitu manusia yang mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mengubah alam. Manusia yang sedikit banyak mengetahui rahasia alam. Semua itu tidak berlaku bagi makhluk-makhluk lainnya. Akan tetapi bagaimana dengan kenyataan umat manusia zaman kini ? Sungguh ironis sekali bukan.
Syekh Taqi Mishbah berpendapat, bahwa kedudukan khalifah tidak terbatas pada Adam saja, melainkan manusia lain pun dapat menduduki jabatan khilafah dengan satu syarat, yaitu mengetahui asma. (lihat kitab Ma’arif Al-Qur’an, juz 3 hal 73).
Allamah Thabathaba’i dalam kitab Tafsir al-Mizan, jilid I halaman 116 berkata, “Khilafah tidak terbatas pada diri Adam as. saja, tetapi para keturunannya pun sama menduduki khilafah tanpa kecuali.”
Selanjutnya beliau menjelaskan, “Maksud mengajarkan asma, adalah menyimpan ilmu pada manusia yang senantiasa akan tampak secara bertahap. Jika manusia mendapatkan petunjuk, maka dia akan membuktikannya secara faktual (bil-fi’li) setelah sebelumnya berupa potensial (bil-quwwah).”
Maksud dari penjelasan Allamah Thabathaba’i di atas, bahwa manusia secara potensial adalah khalifah Allah. Namun yang mampu memfaktualkannya tidak semua manusia. Hanya sebagian kecil saja di antara mereka yang mampu. Hal itu kembali kepada ikhtiar dan pilihan manusia itu sendiri.
Kriteria-Kriteria Khalifatullah

Pada dasarnya manusia diciptakan Allah sebagai khalifah-Nya. Namun hal itu masih berupa potensi, seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Nah, agar potensi itu berkembang dan mewujud secara nyata, maka terdapat seperangkat kriteria yang harus dipenuhi sehingga manusia benar-benar menjadi khalifah Allah Ta’ala.
Kriteria-kriteria khalifah Allah itu ialah :
1. Ilmu

Kriteria pertama adalah ilmu. Pada ayat yang telah disebutkan terdahulu, selanjutnya disambung dengan ayat yang berbunyi :
Dia mengajarkan kepada Adam asma (nama benda-benda) semuanya, kemudian dia mempertunjukkannya kepada para malaikat. Lalu Allah berfirman (kepada para malaikat), Sebutkanlah kepada-Ku asma-asma itu, jika kalian memang benar ?”(QS. Al-Baqarah : 31).
Para mufasir berbeda pendapat tentang pengertian asma yang tercantum pada ayat di atas. Walaupun mereka berbeda pendapat tentang makna asma, tetapi yang pasti (al-qadru al-mutayaqqan) dan yang tidak diperselisihkan lagi adalah, bahwa Adam as. dibekali pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki oleh para malaikat.
Sebagaimana telah kami kutipkan komentar Allamah Thabathaba’i tentang pengertian asma pada surat Al-Baqarah ayat 31 tersebut, beliau menjelaskan bahwa Allah telah menyimpan dalam diri manusia sebuah potensi ilmu, yang akan nyata dengan mengikuti petunjuk-Nya.
Jadi untuk menjadi khalifatullah, hendaknya manusia berilmu. Manusia yang tidak berilmu, tidak bisa dikatakan sebagai khalifah Allah Ta’ala.
2. Iman dan Amal
Pada ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman tentang kriteria khalifah-Nya.
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah.
Sesungguhnya Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah diridhai-Nya untuk mereka, serta Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka menjadi aman setelah mereka ketakutan. Mereka akan menyembah-Ku dan tidak menyekutukan apapun dengan-Ku. Dan barang siapa kafir setelah itu, maka mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur : 55).
Pada ayat tersebut, jelas sekali Allah berjanji akan menjadikan hamba-hamba-Nya sebagai khalifah yang akan menguasai dan memimpin dunia. Tetapi janji itu akan ditepati-Nya bagi manusia yang beriman dan beramal kebaikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kriteria lain dari seorang khalifatullah adalah iman dan amal shaleh.
3. Memberi keputusan dengan benar (haqq) dan tidak mengikuti hawa nafsu, Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai Dawud, Kami jadikan engkau sebagai khalifah di bumi, maka berilah keputusan dengan benar dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Shad : 26).
Allamah Thabathaba’i berkata, “Maksud khalifah di sini secara lahiriah adalah khalifatullah, sama dengan maksud dari firman Allah (pada surat Al-Baqarah ayat 30).
Dan seorang khalifah seharusnya menyerupai Yang mengangkat dirinya sebagai khalifah dalam sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya. Oleh karena itu khalifatullah di bumi hendaknya berakhlak dengan akhlak-akhlak Allah, berkehendak, bertindak sebagaimana yang Allah kehendaki dan memberi keputusan dengan keputusan Allah serta berjalan di jalan Allah.”
Selanjutnya ketika menafsirkan ayat :

“Dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”
Beliau berkata, “Makna ayat tersebut adalah, bahwa engkau dalam memutuskan (sesuatu) janganlah mengikuti hawa nafsu, maka engkau akan disesatkan olehnya dari kebenaran, yaitu jalan Allah.” (Tafsir al-Mizan, jilid 17 halaman 194-195).
4. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, maka dia adalah khalifatullah di bumi dan khalifah kitab-Nya serta khalifah rasul-Nya.’’ (Kitab Mizan al-Hikmah, jilid 3 hal 80).

      Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Kata "Khalifah" (خليفة Khalīfah) sendiri dapat diterjemahkan sebagai "pengganti" atau "perwakilan". Pada awal keberadaannya, para pemimpin islam ini menyebut diri mereka sebagai "Khalifat Allah", yang berarti perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi pada perkembangannya sebutan ini diganti menjadi "Khalifat rasul Allah" (yang berarti "pengganti Nabi Allah") yang kemudian menjadi sebutan standar untuk menggantikan "Khalifat Allah". Meskipun begitu, beberapa akademis memilih untuk menyebut "Khalīfah" sebagai pemimpin umat islam tersebut.
Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu'minīn (أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman", atau "pemimpin umat muslim", yang kadang-kadang disingkat menjadi "emir" atau "amir".
Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kekhalifahan yang dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Bani Usmaniyah, dan beberapa khalifah kecil, berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol, Afrika Utara, dan Mesir.
Khalifah berperan sebagai kepala ummat baik urusan negara maupun urusan agama. mekanisme pengangkatan dilakukan baik dengan penunjukkan ataupun majelis Syura' yang merupakan majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi yakni ahli Ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan Khilafah adalah nama sebuah system pemerintahan yang begitu khas, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadist.
Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani (1907-1977) mendefinisikan Daulah Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariat Islam dan mengembang risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Imam Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 17). Dari definisi ini, jelas bahwa Daulah Khilafah adalah hanya satu untuk seluruh dunia.
Jabatan dan pemerintahan Khalifah berakhir dan dibubarkan dengan pendirian Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan pengambilalihan kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar Nasional Turki, yang kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The Presidency of Religious Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah.

Kelahiran Kekhalifahan Islam

Kekhalifahan Islam, 622-750
Kebanyakan akademis menyetujui bahwa Nabi Muhammad tidak secara langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelah kematiannya. Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah: siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad, dan sebesar apa kekuasaan yang akan didapatkannya?

Pengganti Nabi Muhammad

Fred M. Donner, dalam bukunya The Early Islamic Conquests (1981), berpendapat bahwa kebiasaan bangsa Arab ketika itu adalah untuk mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (bani dalam bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari salah satu diantara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam shura atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki garis keturunan dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
Muslim Sunni berpendapat bahwa Abu Bakar adalah pemimpin yang sah dan terpilih berdasarkan musyawarah yang sah dari komunitas islam. Mereka juga menyatakan bahwa sebaiknya pemimpin islam dipilih berdasarkan musyawarah atau pemungutan suara di antara umat muslim, walaupun pada akhirnya, kekuasaan kekhalifahan didapatkan melalui pemberontakan dan pengambilalihan kekuasaan secara paksa.
Namun Muslim Syiah tidak menyetujui hal tersebut. Mereka percaya bahwa Nabi Muhammad telah memberikan banyak indikasi yang menunjukan bahwa ˤAlī ibn Abī Talib, keponakan sekaligus menantunya, sebagai pengganti diriNya. Mereka mengatakan bahwa Abū Bakar merebut kekuasaan dengan kekuatan dan kelicikan. Semua Khalifah sebelum ˤAlī juga dianggap melakukan hal yang sama. ˤAlī dan keturunannya dianggap sebagai satu-satunya pemimpin yang sah, atau imam dalam sudut pandang syiah.
Sementara, cabang ketiga dari Islam, Muslim Ibadi, mempercayai bahwa khalifah adalah orang yang terbaik diantara umat islam, tanpa memandang keturunannya. Kaum Ibadi saat ini merupakan sekte paling kecil, yang kebanyakan berada di Oman.

Kekuasaan khalifah

Berikut sebuah medali emas yang dipersembahkan oleh Khalifah Ustmani di Turki kepada utusan Sultan Thaha Syaifuddin yang datang meminta pertolongan Khalifah untuk melawan penjajahan Belanda di Jambi
"Siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad" bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi umat Islam saat itu; mereka juga perlu mengklarifikasi seberapa besar kekuasaan pengganti sang nabi. Muhammad, selama masa hidupnya, tidak hanya berperan sebagai pemimpin umat islam, tetapi sebagai nabi dan pemberi keputusan untuk umat Islam. Semua hukum dan praktik spiritual ditentukan sesuai ajaran Nabi Muhammad. Apakah penggantinya akan menerima perlakuan yang sama?
Tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah, karena Nabi Muhammad adalah nabi dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi, tidak satu pun di antara mereka yang menyebut diri mereka sendiri sebagai nabī atau rasul. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi Al-quran, dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam.
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyau otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam al-Quran. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's Caliph, menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Para ulama beranggapan bahwa mereka juga berhak menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat islam. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan konflik di antara keduanya. Perselisihan antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam sejarah Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama. Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran spiritual para ulama. Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan pandangan yang berlebihan kepada para imam, tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua ilmuwan setuju akan hal ini.
Kebanyakan Muslim Sunni saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat Khalifah pertama sebagai Khulafa'ur Rosyidin, Khalifah yang diberkahi, karena mereka berempat mematuhi hukum yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari syariat dan hukum Islam.

Struktur pemerintahan Negara Khilafah

Struktur pemerintahan Islam terdiri daripada 8 perangkat dan berdasarkan af’al (perbuatan) Rasulullah saw:
  1. Khalifah
    Hanya Khalifah yang mempunyai kewenangan membuat UU sesuai dengan hukum-hukum syara’ yang ditabbaninya (adopsi); Khalifah merupakan penanggung jawab kebijakan politik dalam dan luar negeri; panglima tertinggi angkatan bersenjata; mengumumkan perang atau damai; mengangkat dan memberhentikan para Mu’awin, Wali, Qadi, amirul jihad; menolak atau menerima Duta Besar; memutuskan belanjawan negara.
  2. Mu'awin Tafwidh
    Merupakan pembantu Khalifah dibidang kekuasaan dan pemerintahan, mirip menteri tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin menjalankan semua kewenangan Khalifah dan Khalifah wajib mengawalnya.
  3. Mu'awin Tanfidz
    Pembantu Khalifah dibidang administrasi tetapi tidak berhak membuat undang-undang. Mu’awin Tanfidz membantu Khalifah dalam hal pelaksanaan, pemantauan dan penyampaian keputusan Khalifah. Dia merupakan perantara antara Khalifah dengan struktur di bawahnya.
  4. Amirul Jihad
    Amirul Jihad membawahi bidang pertahanan, luar negeri, keamanan dalam negeri dan industri.
  5. Wali
    Wali merupakan penguasa suatu wilayah (gubernur). Wali memiliki kekuasaan pemerintahan, pembinaan dan penilaian dan pertimbangan aktivitas direktorat dan penduduk di wilayahnya tetapi tidak mempunyai kekuasaan dalam Angkatan Bersenjata, Keuangan dan pengadilan.
  6. Qadi
    Qadi merupakan badan peradilan, terdiri dari 2 badan: Qadi Qudat (Mahkamah Qudat) yang mengurus persengketaan antara rakyat dengan rakyat, perundangan, menjatuhkan hukuman, dan lain-lain serta Qadi Mazhalim (Mahkamah Madzhalim) yang mengurus persengketaan antara penguasa dan rakyat dan berhak memberhentikan semua pegawai negara, termasuk memberhentikan Khalifah jika dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
  7. Jihaz Idari
    Pegawai administrasi yang mengatur kemaslahatan masyarakat melalui Lembaga yang terdiri dari Direktorat, Biro, dan Seksi, dan Bagian. Memiliki Direktorat di bidang pendidikan, kesehatan, kebudayaan, industri, perdagangan, pertanian, dll). Mua’win Tanfidz memberikan pekerjaan kepada Jihaz Idari dan memantau pelaksanaannya.
  8. Majelis Ummat
    Majelis Ummat dipilih oleh rakyat, mereka cerminan wakil rakyat baik individu mahupun kelompok. Majelis bertugas mengawasi Khalifah. Majelis juga berhak memberikan pendapat dalam pemilihan calon Khalifah dan mendiskusikan hukum-hukum yang akan diadopsi Khalifah, tetapi kekuasaan penetapan hukum tetap di tangan Khalifah.

Karakter kepemimpinan Kekhalifahan Islam

Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan (amanah) dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut. Hal ini didasarkan pada hadist yang berbunyi:
"It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did well."
Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu dimana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.[1]
Peranan seorang kalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah di hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan diantara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif.
Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:
"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia."

Pencabutan gelar Khalifah

Kebanyakan ulama sunni menolak pencabutan gelar khalifah apabila sudah terpilih. Tetapi fakta yang terjadi adalah sebaliknya, banyak sekali pemberontakan pada masa kekhalifahan, seperti Imam Husain yang melakukan revolusi di Karbala melawan tirani Yazid atau pengkhianatan Ibnu al-Zubayr kepada Yazid, untuk kebanyakan bagian telah terbatas keberadaannya.[2]
Para ulama klasik berpikiran sama, mereka lebih memilih diam dan tunduk kepada kekuasaan tirani. Ketiadaan kekuasaan, anarki, dan sedisi harus dihindari dengan segala cara. Mereka menyarankan untuk mengabaikan perintah pemimpin yang dianggap tidak adil atau pemimpin yang korup daripada menjatuhkan atau memberontak secara langsung terhadap pemerintahannya. Dasar dari alasan ini adalah sebuah hadis dari Nabi Muhammad, "60 hari berada dalam kekuasaan pemimpin yang buruk lebih baik dari sehari tanpa seorang sultan".
Dr. Abdul Aziz Islahi membandingkan hal ini dengan pemikiran barat:
Mengikuti para filsuf Yunani, St. Thomas Aquinas juga menggunakan sudut pandang ini, William Archibald Dunning berkomentar: "Berhubungan dengan aksi-aksi individual dalam menjatuhkan pemerintahan tirani, dia (Aquinas) menemukan bahwa lebih sering orang jahat melakukan pemberontakan dibandingkan orang baik. Karena orang-orang jahat berpendapat bahwa pemerintahan raja-raja tidak kurang beratnya daripada para tiran (raja lalim, penindas), pengakuan hak-hak pribadi warga untuk membunuh para tiran lebih menyangkut lebih besarnya peluang untuk kehilangan seorang raja daripada membebaskan diri dari seorang tiran."

Sejarah

Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya sebelum kematiannya, dan untungnya, komunitas muslim menerima hal ini. Pengganti Umar, Utsman bin Affan, dipilih oleh dewan perwakilan kaum muslim. tetapi kemudian, Utsman dianggap memimpin seperti seorang "raja" dibandingkan sebagai seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Utsman pun akhirnya terbunuh oleh seseorang dari kelompok yang tidak puas. Ali kemudian diangkat oleh sebagian besar muslim waktu itu di Madinah untuk menjadi khalifah, tetapi ia tidak diterima oleh beberapa kelompok muslim. Dia menghadapi beberapa pemberontakan dan akhirnya terbunuh setelah memimpin selama lima tahun. Periode ini disebut sebagai "Fitna", atau perang sipil islam pertama.

Bani Umayyah

Salah satu kelompok penentang ˤAlī adalah kelompok yang dipimpin oleh Gubernur Syam waktu itu Muawiyah bin Abu Sufyan, yang juga sepupu Utsman. Setelah kematian Ali, Muawiyah mengambil alih kekuasaan kekhalifahan. Dia kemudian dikenal dengan nama Muˤāwiyya, pendiri Bani Umayyah. Dibawah kekuasaan Muˤāwiyya, kekhalifahan dijadikan jabatan turun-menurun.
Di daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Persia dan Byzantium, bani Umayyah menurunkan pajak, memberikan otonomi daerah dan kebebasan beragama yang lebih besar bagi umat Yahudi dan Kristen, dan berhasil menciptakan kedamaian di daerah tersebut setelah dilanda perang selama bertahun-tahun.
Dibawah kekuasaan Bani Umayyah, kekhalifahan Islam berkembang dengan pesat. Di arah barat, umat Muslim menguasai daerah di Afrika Utara sampai ke Spanyol. Di arah timur, kekhalifahan menguasai daerah Iran, bahkan sampai ke India. Hal ini membuat Kekhalifahan Islam menjadi salah satu di antara sedikit kekaisaran besar dalam sejarah.
Meskipun begitu, Bani Umayyah tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh umat Islam. Beberapa Muslim lebih mendukung tokoh muslim lainnya seperti Ibnu Zubair; sisanya merasa bahwa hanya mereka yang berasal dari klan Nabi Muhammad, Bani Hasyim, atau dari keturunan Ali (yang masih sekeluarga dengan Nabi Muhammad), yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul beberapa pemberontakan selama masa kepemimpinan bani umayyah. Pada akhir kekuasaannya, pendukung Bani Hasyim dan pendukung Ali bersatu untuk meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada tahun 750. Bagaimanapun, para pendukung Ali lagi-lagi harus menelan kekecewaan ketika ternyata pemimpin kekhalifahan selanjutnya adalah Bani Abbasiyah, yang merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi Muhammad, bukan keturunan Ali. Menanggapi kekecewaan ini, komunitas muslim akhirnya terpecah menjadi komunitas Syiah dan Sunni.

Bani Abbasyiah

Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mameluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syi'ah dari Bani Fatimiyah yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengkalim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.

Kekhalifahan "bayangan"

Pada tahun 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan berhasil menguasai Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan mengeksekusi Khalifah al-Mutasim. Tiga tahun kemudian, sisa-sisa Bani Abbasyiah membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo, di bawah perlindungan Kesultanan Mameluk. Meskipun begitu, otoritas garis keturunan para khalifah ini dibatasi pada urusan-urusan upacara dan keagamaan, dan para sejarawan Muslim pada masa-masa sesudahnya menyebut mereka sebagai "khalifah bayangan".

Kekaisaran Usmaniyah

Bersamaan dengan bertambah kuatnya Kesultanan Usmaniyah, para pemimpinnya mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim mereka ini kemudian bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan Kesultanan Mamluk pada tahun 1517 dan menguasai sebagian besar tanah Arab. Khalifah Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil III, dipenjara dan dikirim ke Istambul. Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya ke Selim I.
Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Sultan, daripada sebagai Khalifah. Hanya Mehmed II dan cucunya, Selim, yang menggunakan gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.
Kekaisaran Usmaniyah
Menurut Barthold, saat dimana gelar Khalifah digunakan untuk kepentingan politik daripada sekedar simbol agama untuk pertama kalinya adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran Usmaniyah berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan kekaisaran kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki populasi tinggi seperti misalnya daerah Crimea. Dalam surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, dibawah kepemimpinan Abdulhamid I, menyatakan bahwa mereka akan tetap melindungi umat Islam yang berada di wilayah yang kini menjadi wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara politik oleh kekuatan Eropa.
Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit namun kekuatan diplomatik dan militer Usmaniyah semakin meningkat. Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II menegaskan kembali status kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Eropa yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim di India, yang ketika itu dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada Perang Dunia I, Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa lemahnya mereka dihadapan kekuatan Eropa, menjadi negara Islam yang paling besar dan paling kuat di dunia.

Keruntuhan kekhalifahan

Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan terakhir, Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya perseteruan diantara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi Turki.
Setelah menguasai Istambul pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri, sementara opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada dua pemerintahan saat itu; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan digerogoti korupsi, terintangi; Ia dianggap murtad, dan beberapa kelompok pendukung Sultan Abdul Mejid II terus berusaha mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan beberapa langkah kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian disebut dengan "Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut dengan "Diyaniah"). Pada tanggal 3 Maret 1924, ia memecat khalifah sekaligus membubarkan sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam.
Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan [1]. Mereka bertugas untuk: "memberikan pelayanan religius kepada orang Turki dan Muslim di dalam dan di luar negara Turki". Diyainah memiliki kantor pusat di Ankara, Turki.
Diyaniah adalah sebuah lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang berhubungan dengan hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk semua arsip kekhalifahan yang telah runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni. Diyainah juga memiliki kantor cabang di Eropa (Jerman).
Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan Diyainah adalah Dinaiyah, tidak seperti kekhalifahan yang mengurusi masalah negara, hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip sekularisme Turki yang memisahkan urusan Agama dengan urusan negara.
Sempat muncul keinginan dan gerakan untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman, tetapi tak ada satupun yang berhasil. Hussein bin Ali, seorang gubernur Hejaz pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya pada masa Perang Dunia I serta melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Istambul, mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan tak lama kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhir Mehmed VI juga melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim yang berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan tersebut.

Gerakan Khilafat

Pada tahun 1920-an "gerakan Khilafat", sebuah gerakan yang bertujuan untuk mendirikan kembali kekhalifahan, menyebar diseluruh daerah jajahan Inggris di Asia. Gerakan ini sangat kuat di India, yang saat itu menjadi pusat komunitas Islam. Sebuah pertemuan kemudian diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian Kekhalifahan. Tapi sayang, sebagian besar negara mayoritas Muslim tidak berpartisipasi dan mengambil langkah untuk mengimplentasikan hasil dari pertemuan ini. Meskipun gelar Amir al-Mukmin dipakai oleh Raja Maroko dan Mullah Mohammed Omar, pemimpin rezim Taliban di Afganistan, kebanyakan Muslim di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya. Organisasi yang mendekati bentuk sebuah bentuk kekhalifahan saat ini adalah Organisasi Konferensi Islam atau OKI, sebuah organisasi internasional dengan pengaruh yang terbatas yang didirikan pada tahun 1969 beranggotakan negara-negara mayoritas Muslim.

Perbandingan kekhalifahan dengan sistem pemerintahan lain

Khalifah sangat berbeda dari sistem pemerintahan yang pernah ada di dunia, seperti disebutkan di bawah ini:
  • Dalam kedudukan monarki, kedudukan raja diperoleh dengan warisan. Artinya, seseorang dapat menduduki jabatan raja hanya karena ia anak raja. Jabatan khalifah didapatkan dengan bai'at dari umat secara ikhlas dan diliputi kebebasan memilih, tanpa paksaan. Jika dalam sistem monarki raja memiliki hak istimewa yang dikhususkan bagi raja, bahkan sering raja di atas UU, maka seorang khalifah tak memiliki hak istimewa; mereka sama dengan rakyatnya. Khalifah ialah wakil umat dalam pemerintahan dan kekuasaan yang dibaiat buat menerapkan syariat Allah SWT atas mereka. Artinya, khalifah tetap tunduk dan terikat pada hukum islam dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan rakyat.
  • Dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suaranya (misal: parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sebaliknya, seorang khalifah, walau bertanggung jawab pada umat dan wakilnya, mereka tak berhak memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika menyimpang dari hukum Islam, dan yang menentukan pemberhentiannya ialah mahkamah mazhalim. Jabatan presiden selalu dibatasi dengan periode tertentu, sebaliknya, seorang khalifah tak memiliki masa jabatan tertentu. Batasannya, apakah ia masih melaksanakan hukum Islam atau tidak. Selama masih melaksanakannya, serta mampu menjalankan urusan dan tanggung jawab negara, maka ia tetap sah menjadi khalifah.

Daftar Khalifah

Khulafa'ur Rasyidin di Madinah

Kekhalifahan Bani Umayyah di Damaskus

  1. Muawiyah I bin Abu Sufyan, 661-680
  2. Yazid I bin Muawiyah, 680-683
  3. Muwaiyah II bin Yazid, 683-684
  4. Marwan I bin al-Hakam, 684-685
  5. Abdul-Maluk bin Marwan, 685-705
  6. Al-Walid I bin Abdul-Malik, 705-715
  7. Sulaiman bin Abdul-Malik, 715-717
  8. Umar II bin Abdul-Aziz, 717-720
  9. Yazid II bin Abdul-Malik, 720-724
  10. Hisyam bin Abdul-Malik, 724-743
  11. Al-Walid II bin Yazid II, 743-744
  12. Yazid III bin al-Walid, 744
  13. Ibrahim bin al-Walid, 744
  14. Marwan II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira) 744-750

Kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad


Referensi:
  1. http://id.wikipedia.org/wiki/Khalifah
  2. http://abibakarblog.com/agama/apakah-semua-manusia-adalah-khalifah-allah/








Kekhalifahan Bani Abbasiyah di Kairo

Kekhalifahan Turki Utsmani

Catatan: Sejak 1908 sistem pemerintahan Islam berakhir.










 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar