Rabu, 02 Februari 2011

DARI PERKAWINAN SAMPAI MASA KERASULANNYA

Perawakan dan sifat-sifat Muhammad - Penduduk Mekah
   membangun Ka'bah - Putusan Muhammad tentang Hajar Aswad
   - Pemikir-pemikir Quraisy dan paganisma - Putera-puteri
   Muhammad - Kematian putera-puterinya - Perkawinan
   putera-puterinya - Kecenderungan Muhammad menyendiri -
   Menjauhi dosa ke Gua Hira'- Mimpi Hakiki - Wahyu
   pertama.

DENGAN duapuluh ekor unta  muda  sebagai  mas  kawin  Muhammad
melangsungkan  perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke
rumah  Khadijah  dalam  memulai  hidup  barunya   itu,   hidup
suami-isteri  dan  ibu-bapa,  saling  mencintai  cinta sebagai
pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia  tidak  mengenal  nafsu
muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta
yang dimulai  seolah  nyala  api  yang  melonjak-lonjak  untuk
kemudian  padam  kembali.  Dari  perkawinannya  itu ia beroleh
beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan.  Kematian  kedua
anaknya,  al-Qasim  dan  Abdullah  at-Tahir  at-Tayyib1  telah
menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang  masih
hidup   semua   perempuan.   Bijaksana   sekali   ia  terhadap
anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun  sangat  setia
dan hormat kepadanya.

Paras  mukanya  manis  dan  indah,  Perawakannya sedang, tidak
terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang
besar,  berambut  hitam  sekali  antara  keriting  dan  lurus.
Dahinya lebar dan rata di atas  sepasang  alis  yang  lengkung
lebat  dan  bertaut,  sepasang  matanya  lebar  dan  hitam, di
tepi-tepi putih matanya agak ke  merah-merahan,  tampak  lebih
menarik  dan  kuat:  pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata
yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan  merata  dengan  barisan
gigi  yang  bercelah-celah.  Cambangnya lebar sekali, berleher
panjang dan  indah.  Dadanya  lebar  dengan  kedua  bahu  yang
bidang.  Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak
tangan dan kakinya yang tebal.

Bila  berjalan  badannya  agak  condong   kedepan,   melangkah
cepat-cepat  dan  pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan
penuh  pikiran,  pandangan  matanya  menunjukkan   kewibawaan,
membuat orang patuh kepadanya.

Dengan  sifatnya  yang  demikian itu tidak heran bila Khadijah
cinta dan patuh kepadanya, dan tidak  pula  mengherankan  bila
Muhammad  dibebaskan  mengurus  hartanya  dan dia sendiri yang
memegangnya  seperti  keadaannya  semula   dan   membiarkannya
menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.

Muhammad  yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya
dengan Khadijah itu berada dalam  kedudukan  yang  tinggi  dan
harta  yang  cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan
rasa gembira dan hormat. Mereka  melihat  karunia  Tuhan  yang
diberikan  kepadanya  serta  harapan akan membawa turunan yang
baik  dengan  Khadijah.  Tetapi  semua  itu  tidak  mengurangi
pergaulannya  dengan  mereka.  Dalam  hidup  hari-hari  dengan
mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih
dihormati  lagi  di  tengah-tengah  mereka  itu. Sifatnya yang
sangat  rendah  hati  lebih  kentara  lagi.  Bila   ada   yang
mengajaknya  bicara  ia  mendengarkan  hati-hati  sekali tanpa
menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang
mengajaknya  bicara,  bahkan  ia rnemutarkan seluruh badannya.
Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia  mendengarkan.  Bila
bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun
tidak melupakan ikut membuat humor  dan  bersenda-gurau,  tapi
yang  dikatakannya  itu  selalu  yang  sebenarnya.  Kadang  ia
tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah
sampai  tampak  kemarahannya,  hanya  antara  kedua  keningnya
tampak sedikit berkeringat. Ini  disebabkan  ia  menahan  rasa
amarah  dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa
oleh kodratnya yang selalu lapang dada,  berkemauan  baik  dan
menghargai  orang  lain.  Bijaksana  ia,  murah hati dan mudah
bergaul. Tapi  juga  ia  mempunyai  tujuan  pasti,  berkemauan
keras,   tegas  dan  tak  pernah  ragu-ragu  dalam  tujuannya.
Sifat-sifat   demikian   ini   berpadu   dalam   dirinya   dan
meninggalkan  pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang
bergaul dengan dia.  Bagi  orang  yang  melihatnya  tiba-tiba,
sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul
dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.

Alangkah  besarnya  pengaruh   yang   terjalin   dalam   hidup
kasih-sayang  antara  dia  dengan Khadijah sebagai isteri yang
sungguh setia itu.

Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus,  juga
partisipasinya  dalam  kehidupan  masyarakat  hari-hari.  Pada
waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir  besar
yang   turun   dari  gunung,  pernah  menimpa  dan  meretakkan
dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun
pihak  Quraisy  memang  sudah memikirkannya. Tempat yang tidak
beratap itu menjadi sasaran  pencuri  mengambil  barang-barang
berharga  di  dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau
bangunannya  diperkuat,  pintunya   ditinggikan   dan   diberi
beratap,  dewa  Ka'bah  yang  suci itu akan menurunkan bencana
kepada  mereka.  Sepanjang  zaman  Jahiliah   keadaan   mereka
diliputi   oleh   pelbagai   macam   legenda   yang  mengancam
barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu  perubahan.  Dengan
demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.

Tetapi  sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu
adalah suatu keharusan, walaupun masih serba  takut-takut  dan
ragu-ragu.  Suatu  peristiwa  kebetulan  telah  terjadi sebuah
kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang datang
dari  Mesir  terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini
seorang  ahli  bangunan   yang   mengetahui   juga   soal-soal
perdagangan.   Sesudah   Quraisy   mengetahui  hal  ini,  maka
berangkatlah al-Walid bin'l-Mughira dengan beberapa orang dari
Quraisy  ke  Jidah.  Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang
sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke  Mekah
guna   membantu   mereka   membangun   Ka'bah  kembali.  Baqum
menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang
Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan
tercapai bahwa diapun akan  bekerja  dengan  mendapat  bantuan
Baqum.

Sudut-sudut  Ka'bah  itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap
kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak  dan  dibangun
kembali.  Sebelum  bertindak  melakukan  perombakan itu mereka
masih  ragu-ragu,  kuatir  akan  mendapat  bencana.   Kemudian
al-Walid   bin'l-Mughira   tampil   ke  depan  dengan  sedikit
takut-takut. Setelah ia berdoa kepada  dewa-dewanya  mulai  ia
merombak   bagian   sudut   selatan.3   Tinggal   lagi   orang
menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan  nanti  terhadap
al-Walid.  Tetapi  setelah  ternyata  sampai  pagi tak terjadi
apa-apa, merekapun  ramai-ramai  merombaknya  dan  memindahkan
batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.

Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di
situ  dengan  pacul  tidak  berhasil,  dibiarkannya  batu  itu
sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu
sekarang  orang-orang  Quraisy  mulai  mengangkuti   batu-batu
granit  berwarna  biru,  dan  pembangunanpun  segera  dimulai.
Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan  tiba  saatnya
meletakkan  Hajar  Aswad yang disucikan di tempatnya semula di
sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan  Quraisy,
siapa  yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu
di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan  itu  sehingga
hampir   saja   timbul   perang  saudara  karenanya.  Keluarga
Abd'd-Dar  dan  keluarga  'Adi  bersepakat  takkan  membiarkan
kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar
ini. Untuk itu  mereka  mengangkat  sumpah  bersama.  Keluarga
Abd'd-Dar  membawa  sebuah  baki  berisi  darah. Tangan mereka
dimasukkan ke dalam baki itu guna  memperkuat  sumpah  mereka.
Karena  itu  lalu  diberi  nama  La'aqat'd-Dam, yakni 'jilatan
darah.'

Abu Umayya bin'l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang  yang
tertua  di  antara  mereka,  dihormati  dan  dipatuhi. Setelah
melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:

"Serahkanlah putusan kamu ini di  tangan  orang  yang  pertama
sekali memasuki pintu Shafa ini."

Tatkala  mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki
tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin; kami dapat menerima
keputusannya."

Lalu   mereka  menceritakan  peristiwa  itu  kepadanya.  Iapun
mendengarkan  dan  sudah  melihat  di   mata   mereka   betapa
berkobarnya  api  permusuhan  itu.  Ia berpikir sebentar, lalu
katanya:  "Kemarikan  sehelai  kain,"  katanya.  Setelah  kain
dibawakan   dihamparkannya   dan   diambilnya  batu  itu  lalu
diletakkannya  dengan  tangannya  sendiri,  kemudian  katanya;
"Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."

Mereka  bersama-sama  membawa kain tersebut ke tempat batu itu
akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain
dan  meletakkannya  di tempatnya. Dengan demikian perselisihan
itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.

Quraisy  menyelesaikan   bangunan   Ka'bah   sampai   setinggi
delapanbelas  hasta  (±  11 meter), dan ditinggikan dari tanah
sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau  melarang
orang  masuk.  Di  dalam  itu mereka membuat enam batang tiang
dalam dua deretan dan di sudut barat  sebelah  dalam  dipasang
sebuah  tangga  naik  sampai  ke teras di atas lalu meletakkan
Hubal  di  dalam  Ka'bah.  Juga  di  tempat   itu   diletakkan
barang-barang  berharga  lainnya,  yang  sebelum  dibangun dan
diberi beratap menjadi sasaran pencurian.

Mengenai umur Muhammad waktu  membina  Ka'bah  dan  memberikan
keputusannya   tentang  batu  itu,  masih  terdapat  perbedaan
pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn
Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat
itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang
jelas  cepatnya  Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama
memasuki pintu Shafa,  disusul  dengan  tindakannya  mengambil
batu  dan  diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain
dan diletakkan di tempatnya dalam Ka'bah,  menunjukkan  betapa
tingginya  kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya
penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.

Adanya   pertentangan   antar-kabilah,   adanya   persepakatan
La'aqat'd-Dam   ('Jilatan  Darah'),  dan  menyerahkan  putusan
kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan
bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.

Kekuasaan   yang   dulu   ada   pada   Qushayy,   Hasyim   dan
Abd'l-Muttalib   sekarang   sudah   tak   ada   lagi.   Adanya
pertentangan  kekuasaan  antara  keluarga  Hasyim dan keluarga
Umayya   sesudah   matinya   Abd'l-Muttalib    besar    sekali
pengaruhnya.

Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan
membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja  tidak  karena
adanya  rasa  kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah
Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara
wajar  pula,  yakni  menambah  adanya kemerdekaan berpikir dan
kebebasan  menyatakan  pendapat,  dan  menimbulkan  keberanian
pihak  Yahudi  dan  kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang
masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan berani
mereka  lakukan  sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir
dengan  hilangnya  pemujaan  berhala-berhala  itu  dalam  hati
penduduk  Mekah  dan  orang-orang  Quraisy  sendiri,  meskipun
pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan
adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini
sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa  agama
yang  berlaku  itu  adalah  salah  satu alat yang akan menjaga
ketertiban  serta  menghindarkan  adanya  kekacauan  berpikir.
Dengan  adanya  penyembahan-penyembahan  berhala dalam Ka'bah,
ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat  keagamaan  dan
perdagangan.   Dan   memang  demikianlah  sebenarnya,  dibalik
kedudukan  ini  Mekah  dapat  juga  menikmati  kemakmuran  dan
hubungan  dagangnya.  Akan  tetapi  itu  tidak  akan  mengubah
hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.

Ada beberapa keterangan yang  menyebutkan,  bahwa  pada  suatu
hari  masyarakat  Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan
berhala  'Uzza;  empat  orang  di  antara   mereka   diam-diam
meninggalkan  upacara  itu.  Mereka  itu  ialah: Zaid b. 'Amr,
Usman bin'l-Huwairith, 'Ubaidullah  b.  Jahsy  dan  Waraqa  b.
Naufal.

Mereka  satu sama lain berkata: "Ketahuilah bahwa masyarakatmu
ini tidak punya tujuan; mereka dalam  kesesatan.  Apa  artinya
kita  mengelilingi  batu  itu: memdengar tidak, melihat tidak,
merugikan tidak,  menguntungkanpun  juga  tidak.  Hanya  darah
korban  yang  mengalir  di  atas  batu  itu.  Saudara-saudara,
marilah kita mencari agama lain, bukan ini."

Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani.
Konon  katanya  dia  yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa
Arab. 'Ubaidullah b. Jahsy  masih  tetap  kabur  pendiriannya.
Kemudian  masuk  Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia
pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya
-  Umm  Habiba  bint  Abi  Sufyan  - tetap dalam Islam, sampai
kemudian  ia   menjadi   salah   seorang   isteri   Nabi   dan
Umm'l-Mu'minin.

Zaid  b.  'Amr  malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab
pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi.
Tetapi  dia  tidak  mau menganut salah satu agama, baik Yahudi
atau Nasrani. Juga dia meninggalkan  agama  masyarakatnya  dan
menjauhi  berhala.  Dialah  yang  berkata, sambil bersandar ke
dinding Ka'bah: "Ya Allah, kalau aku mengetahui,  dengan  cara
bagaimana  yang  lebih  Kausukai  aku  menyembahMu, tentu akan
kulakukan. Tetapi aku tidak me ngetahuinya."

Usman bin'l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan  Khadijah,
pergi  ke  Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat
kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu.  Disebutkan  juga,
bahwa  ia  mengharapkan  Mekah  akan berada di bawah kekuasaan
Rumawi dan dia berambisi  ingin  menjadi  Gubernurnya.  Tetapi
penduduk  Mekah  mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu
Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan  ke  Mekah.
Tetapi  hadiah-hadiah  penduduk  Mekah sampai juga kepada Banu
Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.

Selama bertahun-tahun  Muhammad  tetap  bersama-sama  penduduk
Mekah  dalam  kehidupan  masyarakat  sehari-hari. Ia menemukan
dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang  subur
dan  penuh  kasih,  menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan
telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang
dijuluki  at-Tahir  dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti
Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan
Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa
mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan
sesuatu  yang  patut  dicatat.  Tetapi yang pasti kematian itu
meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua  mereka.  Demikian
juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.

Pada  tiap  kematian  itu  dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah
pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa  berhalanya
itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak
melimpahkan rasa kasihan, sehingga  dia  mendapat  kemalangan,
ditimpa   kesedihan  berulang-ulang!?  Perasaan  sedih  karena
kematian  anak  demikian  sudah  tentu  dirasakan  juga   oleh
suaminya.  Rasa  sedih  ini selalu melecut hatinya, yang hidup
terbayang pada istennya, terlihat setiap ia  pulang  ke  rumah
duduk-duduk di sampingnya

Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa
sedih  demikian  itu,  pada  suatu  zaman   yang   membenarkan
anak-anak  perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan
laki-laki sama dengan menjaga suatu  keharusan  hidup,  bahkan
lebih  lagi  dan  itu.  Cukuplah  jadi  contoh betapa besarnya
kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan
tersebut,   sehingga   ketika   Zaid  b.  Haritha  didatangkan
dimintanya   kepada   Khadijah   supaya   dibelinya   kemudian
dimerdekakannya.   Waktu   itu   orang  menyebutnya  Zaid  bin
Muhammad.  Keadaan  ini  tetap  demikian  hingga  akhirnya  ia
menjadi  pengikut  dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad
merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal
pula.   Kesedihan  demikian  ini  timbul  juga  sesudah  Islam
mengharamkan  menguburkan  anak  perempuan  hidup-hidup,   dan
sesudah  menentukan  bahwa  sorga berada di bawah telapak kaki
ibu.

Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad  dengan  kematian
kedua   anaknya   berpengaruh   juga   dalam   kehidupan   dan
pemikirannya.  Sudah  tentu  pula  pikiran  dan   perhatiannya
tertuju  pada  kemalangan  yang  datang  satu  demi  satu  itu
menimpa,  yang  oleh  Khadijah  dilakukan  dengan   membawakan
sesajen  buat  berhala-berhala dalam Ka'bah, menyembelih hewan
buat Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.4

Ia  ingn  menebus  bencana  kesedihan  yang  menimpanya.  Akan
tetapi,   semua  kurban-kurban  dan  penyembelihan  itu  tidak
berguna sama sekali.

Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad  memberikan
perhatian,  dengan  mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya
memenuhi syarat (kufu'). Zainab yang sulung dikawinkan  dengan
Abu'l-'Ash  bin'r-Rabi' b.'Abd Syams - ibunya masih bersaudara
dengan Khadijah -  seorang  pemuda  yang  dihargai  masyarakat
karena   kejujuran  dan  suksesnya  dalam  dunia  perdagangan.
Perkawinan  ini  serasi  juga,  sekalipun   kemudian   sesudah
datangnya  Islam  -  ketika  Zainab  akan  hijrah dan Mekah ke
Medinah - mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat  lebih
terperinci  nanti.  Ruqayya  dan Umm Kulthum dikawinkan dengan
'Utba dan 'Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua  isteri
ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab
menyuruh kedua anaknya itu  menceraikan  isteri  mereka,  yang
kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.5

Ketika  itu  Fatimah  masih kecil dan perkawinannya dengan Ali
baru sesudah datangnya Islam.
Kehidupan Muhammad dalam usia demikian itu  ternyata  tenteram
adanya.  Kalau tidak karena kehilangan kedua anaknya itu tentu
itulah hidup yang sungguh nikmat dirasakan  bersama  Khadijah,
yang  setia  dan  penuh  kasih,  hidup sebagai ayah-bunda yang
bahagia  dan  rela.  Oleh  karena  itu  wajar  sekali  apabila
Muhammad  membiarkan dirinya berjalan sesuai dengan bawaannya,
bawaan berpikir dan bermenung, dengan mendengarkan  percakapan
masyarakatnya  tentang  berhala-berhala,  serta  apa pula yang
dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang  diri  mereka
itu.  Ia  berpikir  dan merenungkan. Di kalangan masyarakatnya
dialah orang yang paling banyak berpikir  dan  merenung.  Jiwa
yang   kuat  dan  berbakat  ini,  jiwa  yang  sudah  mempunyai
persiapan kelak akan menyampaikan risalah  Tuhan  kepada  umat
manusia,  serta  mengantarkannya  kepada kehidupan rohani yang
hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja  melihat
manusia  yang  sudah  hanyut  ke dalam lembah kesesatan. Sudah
seharusnya  ia  mencari  petunjuk  dalam  alam  semesta   ini,
sehingga  Tuhan  nanti  menentukannya  sebagai orang yang akan
menerima risalahNya. Begitu besar  dan  kuatnya  kecenderungan
rohani  yang  ada  padanya,  ia tidak ingin menjadikan dirinya
sebangsa dukun atau ingin menempatkan diri sebagai ahli  pikir
seperti  ,  dilakukan  oleh  Waraqa b. Naufal dan sebangsanya.
Yang dicarinya hanyalah  kebenaran  semata.  Pikirannya  penuh
untuk  itu,  banyak  sekali ia bermenung. Pikiran dan renungan
yang berkecamuk dalam hatinya itu  sedikit  sekali  dinyatakan
kepada orang lain.

Sudah  menjadi  kebiasaan  orang-orang  Arab  masa  itu  bahwa
golongan berpikir mereka  selama  beberapa  waktu  tiap  tahun
menjauhkan   diri   dari   keramaian   orang,  berkhalwat  dan
mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa  dan
berdoa,    mengharapkan   diberi   rejeki   dan   pengetahuan.
Pengasingan  untuk  beribadat  semacam  ini   mereka   namakan
tahannuf dan tahannuth.6

Di  tempat  ini  rupanya  Muhammad mendapat tempat yang paling
baik guna mendalami pikiran dan renungan yang berkecamuk dalam
dirinya.  Juga  di  tempat ini ia mendapatkan ketenangan dalam
dinnya serta obat penawar hasrat hati yang  ingin  menyendiri,
ingin  mencari  jalan  memenuhi kerinduannya yang selalu makin
besar, ingin mencapai ma'rifat serta mengetahui  rahasia  alam
semesta.

Di  puncak  Gunung  Hira,  - sejauh dua farsakh7 sebelah utara
Mekah -terletak  sebuah  gua  yang  baik  sekali  buat  tempat
menyendiri  dan  tahannuth. Sepanjang bulan Ramadan tiap tahun
ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan
bekal  sedikit  yang  dibawanya.  Ia  tekun dalam renungan dan
ibadat,  jauh  dari  segala  kesibukan  hidup  dan   keributan
manusia. Ia mencari Kebenaran, dan hanya kebenaran semata.

Demikian  kuatnya  ia  merenung mencari hakikat kebenaran itu,
sehingga lupa ia akan dirinya, lupa makan,  lupa  segala  yang
ada  dalam  hidup  ini.  Sebab,  segala  yang dilihatnya dalam
kehidupan manusia sekitarnya,  bukanlah  suatu  kebenaran.  Di
situ  ia  mengungkapkan  dalam  kesadaran batinnya segala yang
disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan  segala  prasangka
yang pernah dikejar-kejar orang.

Ia  tidak  berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat
dalam  kisah-kisah  lama  atau  dalam   tulisan-tulisan   para
pendeta,  melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit
dan bintang-bintang, dalam bulan dan  matahari,  dalam  padang
pasir  di  kala  panas  membakar  di bawah sinar matahari yang
berkilauan.  Atau  di  kala  langit  yang  jernih  dan  indah,
bermandikan  cahaya  bulan  dan bintang yang sedap dan lembut,
atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala  yang  ada
di  balik  itu,  yang  ada hubungannya dengan wujud ini, serta
diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia  mencari
Hakekat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia
menyendiri demikian jiwanya  membubung  tinggi  akan  mencapai
hubungan   dengan  alam  semesta  ini,  menembusi  tabir  yang
menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan  yang
panjang  guna  mengetahui  bahwa  apa  yang oleh masyarakatnya
dipraktekkan dalam soal-soal  hidup  dan  apa  yang  disajikan
sebagai  kurban-kurban  untuk  tuhan-tuhan  mereka  itu, tidak
membawa  kebenaran  samasekali.  Berhala-berhala  yang   tidak
berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan rejeki,
tak dapat memberi perlindungan kepada  siapapun  yang  ditimpa
bahaya.  Hubal,  Lat  dan  'Uzza,  dan semua patung-patung dan
berhala-berhala  yang  terpancang  di  dalam  dan  di  sekitar
Ka'bah,  tak  pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau
akan mendatangkan suatu kebaikan bagi Mekah.

Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan  di  mana
kebenaran  dalam  alam  semesta  yang  luas  ini,  luas dengan
buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya?
Adakah  barangkali  dalam  bintang  yang  berkelip-kelip, yang
memancarkan cahaya dan kehangatan kepada  manusia,  dari  sana
pula  hujan  diturunkan,  sehingga karenanya manusia dan semua
makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari  cahaya
dan  kehangatan  udara?  Tidak! Bintang-bintang itu tidak lain
adalah  benda-benda  langit  seperti  bumi  ini   juga.   Atau
barangkali  di  balik  benda-benda  itu terdapat eter yang tak
terbatas, tak berkesudahan?

Tetapi apa eter itu? Apa hidup yamg kita alami  sekarang,  dan
besok  akan  berkesudahan?  Apa  asalnya,  dan  apa sumbernya?
Kebetulan sajakah bumi ini dijadikan dan dijadikan  pula  kita
di  dalamnya? Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah mempunyai
ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah, dan tidak  mungkin
bila  dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia,
kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri,
ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia
memilih yang lain?

Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu,  itu  juga
yang  dipikirkan  Muhammad  selama  ia  mengasingkan  diri dan
bertekun dalam Gua Hira'. Ia ingin melihat Kebenaran  itu  dan
melihat   hidup  itu  seluruhnya.  Pemikirannya  itu  memenuhi
jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya.
Siang  dan  malam  hal  ini menderanya terus menerus. Bilamana
bulan Ramadan sudah berlalu dan ia  kembali  kepada  Khadijah,
pengaruh  pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah
menanyakannya selalu, karena diapun ingin  lega  hatinya  bila
sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.

Dalam  melakukan  ibadat  selama  dalam  tahannuth  itu adakah
Muhammad menganut sesuatu  syariat  tertentu?  Dalam  hal  ini
ulama-ulama  berlainan  pendapat.  Dalam Tarikh-nya Ibn Kathir
menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai
syariat  yang  digunakannya  melakukan  ibadat  itu:  Ada yang
mengatakan menurut syariat Nuh, ada  yang  mengatakan  menurut
Ibrahim,  yang  lain  berkata  menurut  syariat Musa, ada yang
mengatakan menurut Isa dan  ada  pula  yang  mengatakan,  yang
lebih  dapat dipastikan, bahwa ia menganut sesuatu syariat dan
diamalkannya. Barangkali  pendapat  yang  terakhir  ini  lebih
tepat daripada yang sebelumnya. Ini adalah sesuai dengan dasar
renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.

Tahun telah berganti tahun dan  kini  telah  tiba  pula  bulan
Ramadan. Ia pergi ke Hira', ia kembali bermenung, sedikit demi
sedikit ia bertambah matang, jiwanyapun semakin penuh. Sesudah
beberapa  tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu
dalam tidurnya bertemu dengan mimpi  hakiki  yang  memancarkan
cahaya  kebenaran  yang  selama ini dicarinya Bersamaan dengan
itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu-daya dengan
segala macam kemewahan yang tiada berguna.

Ketika  itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari
jalan yang benar, dan  hidup  kerohanian  mereka  telah  rusak
karena    tunduk    kepada    khayal   berhala-berhala   serta
kepercayaan-kepercayaan  semacamnya  yang  tidak  kurang  pula
sesatnya.  Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi
dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu.
Apa  yang  disebutkan  mereka  itu masing masing memang benar;
tapi masih mengandung  bermacam-macam  takhayul  dan  pelbagai
macam  cara  paganisma,  yang  tidak  mungkin  sejalan  dengan
kebenaran  sejati,  kebenaran  mutlak  yang  sederhana,  tidak
mengenal   segala  macam  spekulasi  perdebatan  kosong,  yang
menjadi pusat perhatian kedua golongan  Ahli  Kitab  itu.  Dan
Kebenaran  itu ialah Allah, Khalik seluruh alam, tak ada tuhan
selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah Pemelihara semesta alam.
Dialah  Maha  Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa
manusia   dinilai   berdasarkan   perbuatannya.   "Barangsiapa
mengerjakan  kebaikan  seberat  atompun  akan  dilihatNya. Dan
barangsiapa  mengerjakan  kejahatan   seberat   atompun   akan
dilihatNya  pula."  (Qur'an, 99:7-8) Dan bahwa surga itu benar
adanya dan nerakapun benar adanya. Mereka yang menyembah tuhan
selain Allah mereka itulah menghuni neraka, tempat tinggal dan
kediaman yang paling durhaka.

Muhammad sudah menjelang usia empatpuluh tahun.  Pergi  ia  ke
Hira'  melakukan  tahannuth.  Jiwanya  sudah  penuh  iman atas
segala apa yang telah dilihatnya dalam mimpi  hakiki  itu.  Ia
telah  membebaskan  diri  dari  segala  kebatilan. Tuhan telah
mendidiknya, dan didikannya baik sekali. Dengan sepenuh  kalbu
ia  menghadapkan  diri  ke  jalan lurus, kepada Kebenaran yang
Abadi. Ia telah menghadapkan diri kepada Allah dengan  seluruh
jiwanya  agar  dapat  memberikan  hidayah dan bimbingan kepada
masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan.

Dalam hasratnya menghadapkan diri itu ia bangun tengah  malam,
kalbu  dan  kesadarannya  dinyalakan. Lama sekali ia berpuasa,
dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia  turun  dari
gua  itu,  melangkah ke jalan-jalan di sahara. Lalu ia kembali
ke tempatnya berkhalwat,  hendak  menguji  apa  gerangan  yang
berkecamuk  dalam  perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat
dalam mimpi itu? Hal serupa itu berjalan  selama  enam  bulan,
sampai-sampai  ia  merasa  kuatir  akan  membawa  akibat  lain
terhadap  dirinya.  Oleh  karena  itu   ia   menyatakan   rasa
kekuatirannya  itu  kepada  Khadijah dan menceritakan apa yang
telah dilihatnya. Ia kuatir kalau-kalau  itu  adalah  gangguan
jin.

Tetapi  isteri  yang  setia  itu  dapat menenteramkan hatinya.
dikatakannya bahwa dia adalah al-Amin, tidak mungkin jin  akan
mendekatinya,  sekalipun  memang tidak terlintas dalam pikiran
isteri  atau  dalam  pikiran  suami  itu,  bahwa  Allah  telah
mempersiapkan  pilihanNya itu dengan memberikan latihan rohani
sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang
dahsyat,  yaitu  saat  datangnya  wahyu pertama. Dengan itu ia
dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang besar.

Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam  gua  itu,  ketika
itulah datang malaikat membawa sehelai lembaran seraya berkata
kepadanya: "Bacalah!" Dengan terkejut Muhammad menjawab: "Saya
tak   dapat   membaca".   Ia   merasa   seolah  malaikat  itu
mencekiknya, kemudian dilepaskan  lagi  seraya  katanya  lagi:
"Bacalah!"  Masih  dalam  ketakutan akan dicekik lagi Muhammad
menjawab: "Apa yang akan saya baca." Seterusnya  malaikat  itu
berkata:  "Bacalah!  Dengan  nama  Tuhanmu  Yang  menciptakan.
Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan  Tuhanmu
Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada
manusia apa yang belum diketahuinya ..." (Qur'an 96:1-5)

Lalu ia mengucapkan bacaan  itu.  Malaikatpun  pergi,  setelah
kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.8

Tetapi  kemudian ia terbangun ketakutan, sambil bertanya-tanya
kepada dirinya:  Gerangan  apakah  yang  dilihatnya?!  Ataukah
kesurupan  yang  ditakutinya  itu  kini  telah menimpanya?! Ia
menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi  tak  melihat  apa-apa.  Ia
diam  sebentar,  gemetar  ketakutan.  Kuatir  ia akan apa yang
terjadi dalam gua itu. Ia lari dari tempat itu. Semuanya serba
membingungkan.   Tak  dapat  ia  menafsirkan  apa  yang  telah
dilihatnya itu.

Cepat-cepat ia  pergi  menyusuri  celah-celah  gunung,  sambil
bertanya-tanya  dalam hatinya: siapa gerangan yang menyuruhnya
membaca itu?! Yang pernah dilihatnya sampai saat itu sementara
dia  dalam  tahannuth,  ialah  mimpi hakiki yang memancar dari
sela-sela renungannya, memenuhi dadanya, membuat jalan yang di
hadapannya  jadi  terang-benderang,  menunjukkan kepadanya, di
mana kebenaran itu. Tirai gelap yang selama itu  menjerumuskan
masyarakat  Quraisy  ke dalam lembah paganisma dan penyembahan
berhala, jadi terbuka.

Sinar  terang-benderang  yang  memancar  di   hadapannya   dan
kebenaran  yang  telah  menunjukkan jalan kepadanya itu, ialah
Yang Tunggal Maha Esa.  Tetapi  siapakah  yang  telah  memberi
peringatan tentang itu, dan bahwa Dia yang menicptakan manusia
dan bahwa Dia  Yang  Maha  Pemurah,  Yang  mengajarkan  kepada
manusia dengan pena, mengajarkan apa yang belum diketahuinya?

Ia  memasuki  pegunungan  itu  masih  dalam  ketakutan,  masih
bertanya-tanya. Tiba-tiba ia mendengar ada suara memanggilnya.
Dahsyat   sekali  terasa.  Ia  melihat  ke  permukaan  langit.
Tiba-tiba yang terlihat adalah malaikat dalam bentuk  manusia.
Dialah yang memanggilnya. Ia makin ketakutan sehingga tertegun
ia di tempatnya. Ia memalingkan muka dari yang dilihatnya itu.
Tetapi  dia  masih  juga  melihatnya  di  seluruh ufuk langit.
Sebentar  melangkah  maju  ia,  sebentar  mundur,  tapi   rupa
malaikat  yang sangat indah itu tidak juga lalu dari depannya.
Seketika lamanya ia dalam keadaan  demikian.  Dalam  pada  itu
Khadijah  telah  mengutus  orang  mencarinya ke dalam gua tapi
tidak menjumpainya.

Setelah rupa malaikat itu  menghilang  Muhammad  pulang  sudah
berisi wahyu yang disampaikan kepadanya. Jantungnya berdenyut,
hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah  sambil
ia  berkata:  "Selimuti  aku!"  Ia segera diselimuti. Tubuhnya
menggigil seperti dalam  demam.  Setelah  rasa  ketakutan  itu
berangsur  reda  dipandangnya  isterinya dengan pandangan mata
ingin mendapat kekuatan.

"Khadijah, kenapa aku?" katanya. Kemudian  diceritakannya  apa
yang  telah  dilihatnya,  dan dinyatakannya rasa kekuatirannya
akan teperdaya oleh kata hatinya atau akan jadi  seperti  juru
nujum saja.

Seperti  juga ketika dalam suasana tahannuth dan dalam suasana
ketakutannya  akan  kesurupan   Khadijah   yang   penuh   rasa
kasih-sayang,  adalah  tempat  ia  melimpahkan  rasa damai dan
tenteram kedalam hati yang besar itu, hati yang  sedang  dalam
kekuatiran  dan  dalam  gelisah.  Ia tidak memperlihatkan rasa
kuatir atau rasa curiga. Bahkan dilihatnya ia dengan pandangan
penuh hormat, seraya berkata:

"O  putera  pamanku.9 Bergembiralah, dan tabahkan hatimu. Demi
Dia Yang  memegang  hidup  Khadijah,10  aku  berharap  kiranya
engkau  akan  menjadi  Nabi  atas  umat  ini. Samasekali Allah
takkan mencemoohkan kau; sebab engkaulah yang mempererat  tali
kekeluargaan,  jujur  dalam  kata-kata,  kau  yang mau memikul
beban orang lain dan menghormati tamu dan menolong mereka yang
dalam kesulitan atas jalan yang benar."

Muhammad  sudah  merasa  tenang kembali. Dipandangnya Khadijah
dengan mata penuh terimakasih dan rasa kasih. Sekujur badannya
sekarang terasa sangat letih dan perlu sekali ia tidur. Ia pun
tidur, tidur  untuk  kemudian  bangun  kembali  membawa  suatu
kehidupan  rohani  yang  kuat,  yang  luarbiasa kuatnya. Suatu
kellidupan  yang  sungguh  dahsyat  dan  mempesonakan.  Tetapi
kehidupan  yang  penuh  pengorbanan,  yang tulus-ikhlas semata
untuk Allah, untuk kebenaran dan untuk perikemanusiaan. Itulah
Risalah Tuhan yang akan diteruskan dan disampaikan kepada umat
manusia dengan cara  yang  lebih  baik,  sehingga  sempurnalah
cahaya Allah, sekalipun oleh orang-orang kafir tidak disukai.

Catatan kaki:

 1 Berdasarkan pada sebagian besar ahli genekologi,
   bahwa putera-putera Nabi s.a.w. dari Khadijah dua
   orang: al-Qasim dan Abdullah, yang diberi julukan
   at-Tahir dan at-Tayyib. Ada juga yang mengatakan tiga,
   ada pula yang mengatakan empat orang.
   
 2 Mungkin nama ini sudah diarabkan (A)
   
 3 Bangunan itu terdiri dari empat sudut dikenal dengan
   nama-nama sudut utara, ar-rukn'l-iraqi (Irak), sudut
   selatan, ar-rukn'l-yamani, sudut barat, ar-rukn'l-syami
   dan sudut timur, ar-rukn'l-aswad (A)
   
 4 Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat adalah berhala-berhala
   sembahan Arab pagan. Konon kabarnya Hubal berhala
   terbesar yang tinggal dalam Ka'bah, dibuat dari batu
   akik dalam bentuk manusia (lihat halaman 21-22).
   Keterangan tentang tuhan-tuhan wanita Lat. 'Uzza dan
   Manat berbeda-beda mengenai bentuknya. Katanya Lat
   dalam bentuk manusia juga, 'Uzza berhala kaum Thaqif.
   'Uzza pada mulanya adalah pohon suci, terletak di
   antara Mekah dengan Ta'if. Manat merupakan batu putih,
   berhala kaum Hudhail dan Khuza'a. Ketiga-tiganya itu
   berbentuk wanita. (A)
   
 5 Usman b. 'Affan, Khalifah ketiga. Setelah Ruqayya
   diceraikan oleh 'Utba diambil isteri oleh Usman b.
   'Affan. Setelah Umm Kulthum dewasa kawin dengan
   'Utaiba, lalu diceraikan pula. Sesudah dalam tahun ke-2
   H. Ruqayya wafat, Usman kawin dcngan Umm Kulthum. Ia
   meninggal dalam tahun ke-9 H. di Medinah (A).
   
 6 Tahannuf atau tahannafa, mungkin asal katanya seakar
   dengan hanif, yang berarti 'cenderung kepada kebenaran'
   'meninggalkan berhala dan beribadat kepada Allah' (LA)
   atau sebaliknya dari perbuatan syirik. (Bandingkan
   Qur'an, 2: 135; 10: 105). Tahannuth atau tahannatha,
   beribadat dan menjauhi dosa; mendekatkan diri kepada
   Tuhan' (N). 'Beribadat dan menjauhi berhala, seperti
   tahannatha (LA). Dalam terjemahan selanjutnya kedua
   kata ini tidak diterjemahkan (A).
   
 7 Bahasa Persia, parsang, ukuran panjang dahulu kala,
   kira-kira 3.5 mil atau hampir 6 km. (A).
   
 8 Demikian buku-buku sejarah yang mula-mula
   menceritakan. Ibn Ishaq juga ke sana dasarnya. Demikian
   juga yang datang kemudian banyak yang menceritakan
   begitu. Hanya saja sebagian mereka berpendapat bahwa
   permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di
   waktu siang, dengan menyebutkan sebuah keterangan
   melalui Jibril yang menenteramkan hati Muhammad ketika
   dilihatnya dalam ketakutan. Ibn Kathir dalam Tarikh-nya
   menyebutkan sumber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na'im
   al-Ashbahani dalam bukunya Dala'il'n-Nubawa dari
   'Alqama bin Qais, bahwa "Yang mula-mula didatangkan
   kepada para nabi itu mereka dalam keadaan tidur (dengan
   maksud) supaya hati mereka tenteram. Sesudah itu
   kemudian wahyu turun. Dan ditambahkan: "Ini yang
   dikatakan 'Alqama ibn Qais sendiri, suatu keterangan
   yang baik, diperkuat oleh yang datang sebelum dan
   sesudahnya."
   
 9 Suatu kebiasaan orang Arab memanggil orang yang
   dianggap seturunan. Muhammad dan Khadijah dari nenek
   moyang yang sama, yakni Qushayy (A).

10 Suatu pernyataan sumpah yang biasa diucapkan pada
   masa itu, maksudnya "Demi Allah" (A)
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar