Rabu, 02 Februari 2011

DARI PEMBATALAN PIAGAM SAMPAI KEPADA ISRA'

Muslimin lari dari Mekah ke celah-celah gunung - Tidak
   bergaul dengan orang kecuali dalam bulan-bulan suci
   Zuhair dan kawan-kawannya membatalkan piagam -Abu Talib
   dan Khadijah wafat - Gangguan Quraisy kepada Muhammad -
   Kepergian Muhammad ke Ta'if dan penolakan Thaqif -
   Isra' dan Mi'raj.

SELAMA tiga tahun  berturut-turut  piagam  yang  dibuat  pihak
Quraisy  untuk  memboikot  Muhammad dan mengepung Muslimin itu
tetap berlaku. Dalam pada  itu  Muhammad  dan  keluarga  serta
sahabat-sahabatnya  sudah  mengungsi  ke celah-celah gunung di
luar kota Mekah, dengan mengalami pelbagai macam  penderitaan,
sehingga  untuk mendapatkan bahan makanan sekadar menahan rasa
laparpun tidak ada. Baik kepada Muhammad  atau  kaum  Muslimin
tidak  diberikan  kesempatan bergaul dan bercakap-cakap dengan
orang,  kecuali  dalam  bulan-bulan  suci.  Pada   waktu   itu
orang-orang   Arab  berdatangan  ke  Mekah  berziarah,  segala
permusuhan  dihentikan  -  tak   ada   pembunuhan,   tak   ada
penganiayaan, tak ada permusuhan, tak ada balas dendam.
 
Pada bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang Arab
itu kepada agama Allah, diberitahukannya  kepada  mereka  arti
pahala   dan  arti  siksa.  Segala  penderitaan  yang  dialami
Muhammad demi dakwah itu justru telah menjadi penolongnya dari
kalangan orang banyak. Mereka yang telah mendengar tentang itu
lebih  bersimpati  kepadanya,  lebih  suka   mereka   menerima
ajakannya. Blokade yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran
dan ketabahan hatinya memikul semua itu demi risalahnya, telah
dapat  memikat  hati  orang  banyak,  hati  yang  tidak begitu
membatu, tidak begitu kaku seperti hati Abu  Jahl,  Abu  Lahab
dan yang sebangsanya.
 
Akan  tetapi,  penderitaan  yang  begitu  lama,  begitu banyak
dialami kaum Muslimin karena kekerasan pihak Quraisy - padahal
mereka  masih  sekeluarga:  saudara,  ipar.  sepupu  -  banyak
diantara mereka itu yang merasakan betapa  beratnya  kekerasan
dan kekejaman yang mereka lakukan itu. Dan sekiranya tidak ada
dari  penduduk  yang  merasa  simpati  kepada  kaum  Muslimin,
membawakan   makanan  ke  celah-celah  gunung1  tempat  mereka
mengungsi itu, niscaya mereka akan mati kelaparan.  Dalam  hal
ini  Hisyam  ibn  'Amr  termasuk  salah  seorang dari kalangan
Quraisy yang paling simpati kepada Muslimin.
 
Tengah malam ia datang membawa unta yang sudah dimuati makanan
atau  gandum.  Bilamana  ia sudah sampai di depan celah gunung
itu, dilepaskannya tali untanya lalu  dipacunya  supaya  terus
masuk ke tempat mereka dalam celah itu.

Merasa  kesal melihat Muhammad dan sahabat-sahabatnya dianiaya
demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair  b.  Abi  Umayya  (Banu
Makhzum).  Ibu  Zuhair  ini  adalah  Atika bint Abd'l-Muttalib
(Banu Hasyim).
 
"Zuhair," kata Hisyam "Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan
wanita-wanita,  padahal,  seperti  kau ketahui, keluarga ibumu
demikian  rupa   tidak   boleh   berhubungan   dengan   orang,
berjual-beli,  tidak  boleh saling mengawinkan? Aku bersumpah,
bahwa kalau mereka itu keluargaku  dari  pihak  ibu,  keluarga
Abu'l-Hakam  ibn Hisyam, lalu aku diajak seperti mengajak kau,
tentu akan kutolak."
 
Keduanya kemudian sepakat akan  sama-sama  membatalkan  piagam
itu.  Tapi  meskipun  begitu harus mendapat dukungan juga dari
yang  lain,  dan  secara  rahasia  mereka  harus   diyakinkan.
Pendirian  kedua  orang  itu kemudian disetujui oleh Mut'im b.
'Adi (Naufal), Abu'l-Bakhtari b. Hisyam dan Zamia  bin'l-Aswad
(keduanya   dari   Asad).  Kelima  mereka  lalu  sepakat  akan
mengatasi persoalan piagam itu dan akan membatalkannya.
 
Dengan tujuh kali mengelilingi  Ka'bah  keesokannya  pagi-pagi
Zuhair  b.  Umayya  berseru kepada orang banyak: "Hai penduduk
Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan  dan  berpakaian  padahal
Banu  Hasyim  binasa  tidak  dapat mengadakan hubungan dagang!
Demi Allah saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini
dirobek!"
 
Tetapi Abu Jahl, begitu mendengar ucapan itu, iapun berteriak:
"Bohong! Tidak akan kita robek!"
 
Saat itu juga  terdengar  suara-suara  Zam'a,  Abu'l-Bakhtari,
Mut'im  dan 'Amr ibn Hisyam mendustakan Abu Jahl dan mendukung
Zuhair.
 
Abu  Jahl  segera   menyadari   bahwa   peristiwa   ini   akan
terselesaikan  juga  malam  itu dan orangpun sudah menyetujui.
Kalau dia menentang mereka juga, tentu  akan  timbul  bencana.
Merasa  kuatir,  lalu  cepat-cepat ia pergi. Waktu itu, ketika
Mut'im bersiap akan merobek piagam tersebut, dilihatnya  sudah
mulai  dimakan  rayap,  kecuali  pada bagian pembukaannya yang
berbunyi: "Atas namaMu ya Allah..."
 
Dengan  demikian  terdapat  kesempatan   pada   Muhammad   dan
sahabat-sahabat  pergi meninggalkan celah bukit yang curam itu
dan kembali ke Mekah. Kesempatan berjual-beli  dengan  Quraisy
juga  terbuka, sekalipun hubungan antara keduanya seperti dulu
juga,  masing-masing  siap-siaga  bila  permusuhan  itu  kelak
sewaktu-waktu memuncak lagi.
 
Beberapa  penulis  biografi  dalam  hal ini berpendapat, bahwa
diantara  mereka  yang  bertindak  menghapuskan   piagam   itu
terdapat  orang-orang  yang  masih  menyembah  berhala.  Untuk
menghindarkan timbulnya bencana,  mereka  mendatangi  Muhammad
dengan  permintaan  supaya  ia  mau  saling mengulurkan tangan
dengan Quraisy dengan misalnya memberi hormat kepada dewa-dewa
mereka   sekalipun   cukup   hanya  dengan  jari-jarinya  saja
dikelilingkan. Agak cenderung  juga  hatinya  atas  usul  itu,
sebagai  pengharapan  atas kebaikan hati mereka. Dalam hatinya
seolah ia berkata: "Tidak apa kalau saya  lakukan  itu.  Allah
mengetahui bahwa saya tetap taat."
 
Atau karena mereka yang telah menghapuskan piagam dan beberapa
orang lagi itu, pada suatu malam mengadakan  pertemuan  dengan
Muhammad  sampai  pagi.  Dalam  perbicaraan  itu mereka sangat
menghormatinya, menempatkannya  sebagai  yang  dipertuan  atas
mereka, mengajaknya kompromi, seraya kata mereka:
 
"Tuan adalah pemimpin kami ..."
 
Sementara  mereka  masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai
hampir saja ia mengalah atas  beberapa  hal  menurut  kehendak
mereka.  Ini  adalah  dua  sumber hadis, yang pertama sebagian
diceritakan oleh Sa'id  b.  Jubair,  sedang  yang  kedua  oleh
Qatada.  Kata  mereka  kemudian Allah melindungi Muhammad dari
kesalahan, dengan firmanNya:
 
"Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau  tentang  yang
sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kami
memalsukan dengan yang lain. Ketika  itulah  mereka  mengambil
engkau  menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan
hatimu, niscaya engkau hampir  cenderung  juga  kepada  mereka
barang  sedikit.  Dalam  hal  ini, akan Kami timpakan kepadamu
hukuman berlipat ganda,  dalam  hidup  dan  mati.  Selanjutnya
engkau tiada mempunyai penolong menghadapi Kami." (Qur'an, 17:
73-75)
 
Ayat-ayat ini turun  -  menurut  dugaan  mereka  yang  membawa
cerita  gharaniq - sehubungan dengan cerita bohong itu seperti
yang  sudah  kita  lihat.  Sedang   kedua   ahli   hadis   ini
menghubungkannya  pada  cerita  pembatalan  piagam. Sebaliknya
menurut hadis 'Ata, lewat  Ibn  'Abbas,  ayat-ayat  ini  turun
sehubungan  dengan delegasi Thaqif, yang datang meminta kepada
Muhammad supaya lembah mereka  dianggap  suci  seperti  pohon,
burung  dan  binatang  di Mekah. Dalam hal ini Nabi a.s. masih
maju-mundur sebelum ayat-ayat tersebut turun.
 
Apapun juga yang sebenarnya terjadi, terhadap  peristiwa  yang
menyebabkan  turunnya  ayat-ayat  itu  sumber-sumber  tersebut
tidak berbeda, yaitu melukiskan salah satu segi kebesaran jiwa
Muhammad,  di samping kejujuran dan keikhlasannya dengan suatu
lukisan  yang  sungguh  kuat  sekali.  Segi  ini   yang   juga
dilukiskan  oleh ayat-ayat yang sudah kita kutipkan dari Surah
"Abasa" (80)  dan  pula  seluruh  sejarah  kehidupan  Muhammad
membuktikannya  pula. Secara terus-terang dikatakan, bahwa dia
adalah manusia  biasa  seperti  yang  lain,  tapi  yang  telah
mendapat wahyu Tuhan guna memberikan bimbingan, dan bahwa dia,
sebagai manusia biasa, tidak luput dari kesalahan kalau  tidak
karena  mendapat  perlindungan Tuhan. Ia telah bersalah ketika
bermuka masam dan berpaling dari Ibn Umm  Maktum,  dan  hampir
pula  salah sehubungan dengan turunnya Surah "Isra" (17), juga
hampir pula ia  tergoda  tentang  apa  yang  telah  diwahyukan
kepadanya untuk dipalsukan dengan yang lain.
 
Apabila   wahyu   turun   kepadanya  memberi  peringatan  atas
perbuatannya terhadap orang  buta  itu,  dan  terhadap  godaan
Quraisy  yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam
menyampaikan wahyu itu kepada orang sama pula  seperti  ketika
menyampaikan  amanat  Tuhan  itu.  Tak  ada  sesuatu yang akan
menghalanginya  ia  menyatakan  apa  yang  sebenarnya  tentang
dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak, tidak ada rasa
tinggi hati.
 
Jadi kebenaranlah, dan hanya kebenaran semata yang  ada  dalam
-risalahnya  itu.  Apabila dalam menanggung siksaan orang lain
demi idea yang diyakininya, orang  yang  berjiwa  besar  masih
sanggup  memikulnya,  maka  pengakuan orang besar itu bahwa ia
hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi  kebiasaan,  sekalipun
oleh  orang-orang  besar sendiri. Hal-hal semacam itu biasanya
oleh mereka disembunyikan dan yang diperhitungkan hanya  harga
dirinya,  meskipun  dengan  susah payah. Inilah kebesaran yang
tak  ada  taranya,  lebih  besar  dari  orang  besar.   Itulah
sebenarnya  kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan kebenaran
secara keseluruhan. Itulah yang juga lebih luhur  dari  segala
kebesaran, dan lebih besar dari segala yang besar, yakni sifat
kenabian yang menyertai Rasul itu dengan segala keikhlasan dan
kejujurannya meneruskan Risalah Kebenaran Tertinggi.
 
Sesudah  piagam  disobek, Muhammad dan pengikut-pengikutnyapun
keluar dari lembah bukit-bukit itu.  Seruannya  dikumandangkan
lagi  kepada  penduduk  Mekah  dan kepada kabilah-kabilah yang
pada bulan-bulan suci itu datang berziarah ke Mekah.  Meskipun
ajakan  Muhammad  sudah tersiar kepada seluruh kabilah Arab di
samping banyaknya mereka yang sudah menjadi pengikutnya,  tapi
sahabat-sahabat  itu  tidak selamat dari siksaan Quraisy, juga
dia tidak dapat mencegahnya.

Beberapa bulan kemudian sesudah penghapusan piagam itu, secara
tiba-tiba  sekali  dalam  satu  tahun  saja Muhammad mengalami
dukacita yang sangat  menekan  perasaan,  yakni  kematian  Abu
Talib  dan Khadijah secara berturut-turut. Waktu itu Abu Talib
sudah  berusia  delapanpuluh  tahun  lebih.  Setelah   Quraisy
mengetahui  ia  dalam  keadaan sakit yang akan merupakan akhir
hayatnya, mereka merasa kuatir apa  yang  akan  terjadi  nanti
antara  mereka dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apalagi
sesudah ada Hamzah dan Umar yang terkenal  garang  dan  keras.
Karena  itu pemuka-pemuka Quraisy segera mendatangi Abu Talib,
untuk kemudian mengatakan:
 
"Abu Talib, seperti kau ketahui, kau adalah dari keluarga kami
juga.  Keadaan  sekarang  seperti  kau ketahui sendiri, sangat
mencemaskan kami. Engkau juga sudah  mengetahui  keadaan  kami
dengan  kemenakanmu  itu.  Panggillah  dia.  Kami  akan saling
memberi dan saling menerima.  Dia  angkat  tangan  dari  kami,
kamipun  akan demikian. Biarlah kami dengan agama kami dan dia
dengan agamanya sendiri pula."
 
Muhammad datang tatkala mereka masih berada di tempat pamannya
itu.  Setelah  diketahuinya  maksud  kedatangan  mereka, iapun
berkata:
 
"Sepatah kata  saja  saya  minta,  yang  akan  membuat  mereka
merajai semua orang Arab dan bukan Arab."
 
"Ya,  demi  bapamu,"  jawab  Abu Jahl. "Sepuluh kata sekalipun
silakan!"
 
Kata Muhammad: "Katakan,  tak  ada  tuhan  selain  Allah,  dan
tinggalkan segala penyembahan yang selain Allah."
 
"Muhammad,  maksudmu  supaya  tuhan-tuhan  itu  dijadikan satu
Tuhan saja?" kata mereka.
 
Kemudian mereka berkata satu sama lain: "Orang ini tidak  akan
memberikan  apa-apa  seperti  yang  kamu  kehendaki.  Pergilah
kalian!"
 
Ketika Abu Talib  meninggal  hubungan  Muhammad  dengan  pihak
Quraisy lebih buruk lagi dari yang sudah-sudah.
 
Dan  sesudah Abu Talib, disusul pula dengan kematian Khadijah,
Khadijah yang menjadi sandaran Muhammad, Khadijah  yang  telah
mencurahkan   segala   rasa  cinta  dan  kesetiaannya,  dengan
perasaan yang lemah-lembut, dengan hati  yang  bersih,  dengan
kekuatan   iman   yang   ada   padanya.  Khadijah,  yang  dulu
menghiburnya bila ia mendapat kesedihan, mendapat tekanan  dan
yang   menghilangkan  rasa  takut  dalam  hatinya.  Ia  adalah
bidadari yang penuh kasih sayang. Pada kedua mata dan bibirnya
Muhammad  melihat  arti yang penuh percaya kepadanya, sehingga
ia sendiripun tambah  percaya  kepada  dirinya.  Abu  Talibpun
meninggal,  orang  yang menjadi pelindung dan perisai terhadap
segala tindakan musuh.  Pengaruh  apakah  yang  begitu  sedih,
begitu pedih menusuk jiwa Muhammad 'alaihissalam?! Yang pasti,
dua peristiwa itu akan  meninggalkan  luka  parah  dalam  jiwa
orang  -  yang  bagaimanapun  kuatnya  - akan menusukkan racun
putus asa kedalam hatinya. Ia akan dikuasai perasaan sedih dan
duka,  akan dirundung kepiluan dan akan membuatnya jadi lemah,
tak dapat berpikir  lain  diluar  dua  peristiwa  yang  sangat
mengharukan itu.

Sesudah  kehilangan  dua  orang  yang  selalu  membelanya  itu
Muhammad  melihat  Quraisy  makin  keras  mengganggunya.  Yang
paling  ringan diantaranya ialah ketika seorang pandir Quraisy
mencegatnya di tengah jalan lalu  menyiramkan  tanah  ke  atas
kepalanya.  Tahukah  orang  apa  yang  dilakukan  Muhammad? Ia
pulang ke rumah dengan tanah yang masih diatas kepala. Fatimah
puterinya  lalu datang mencucikan tanah yang di kepala itu. Ia
membersihkannya sambil  menangis.  Tak  ada  yang  lebih  pilu
rasanya  dalam  hati  seorang  ayah dari pada mendengar tangis
anaknya,  lebih-lebih  anak  perempuan.   Setitik   air   mata
kesedihan  yang  mengalir  dari  kelopak  mata  seorang puteri
adalah sepercik api yang  membakar  jantung,  membuatnya  kaku
karena  pilu,  dan  karena pilunya ia akan menangis kesakitan.
Juga  secercah  duka  yang  menyelinap  kedalam  hati   adalah
rintihan  jiwa  yang  sungguh keras, terasa mencekik leher dan
hampir pula menggenangi mata.
 
Sebenarnya Muhammad adalah seorang ayah yang sungguh bijaksana
dan  penuh  kasih  kepada  puteri-puterinya.  Apakah yang kita
lihat ia lakukan terhadap tangisan anak  perempuan  yang  baru
saja   kehilangan  ibunya  itu?  Yang  menangis  hanya  karena
malapetaka yang menimpa ayahnya? Tidak lebih dan semua itu  ia
hanya menghadapkan hatinya kepada Allah dengan penuh iman akan
segala pertolonganNya.
 
"Jangan menangis anakku," katanya kepada puterinya yang sedang
berlinang air mata itu. "Tuhan akan melindungi ayahmu."
 
Kemudian  diulangnya:  "Sebelum  wafat  Abu  Talib orang-orang
Quraisy itu tidak seberapa mengganggu saya."
 
Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy kepada  Muhammad  makin
menjadi-jadi. Ia merasa tertekan sekali.
Terasing  seorang diri, ia pergi ke Ta'if,2 dengan tiada orang
yang mengetahuinya. Ia pergi ingin  mendapatkan  dukungan  dan
suaka  dari  Thaqif  terhadap  masyarakatnya  sendiri,  dengan
harapan merekapun akan dapat menerima Islam.  Tetapi  ternyata
mereka  juga  menolaknya  secara  kejam sekali. Kalaupun sudah
begitu, ia masih  mengharapkan  mereka  jangan  memberitahukan
kedatangannya minta pertolongan itu, supaya jangan ia disoraki
oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya itupun  tidak
didengar.  Bahkan  mereka  menghasut  orang-orang  pandir agar
bersorak-sorai dan memakinya.
 
Ia  pergi  lagi  dari  sana,  berlindung  pada  sebuah   kebun
kepunyaan  'Utba dan Syaiba anak-anak Rabi'a. Orang-orang yang
pandir itu kembali pulang. Ia  lalu  duduk  di  bawah  naungan
pohon    anggur.    Ketika    itu   keluarga   Rabi'a   sedang
memperhatikannya dan melihat pula kemalangan yang dideritanya.
Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia
hanyut dalam suatu  doa  yang  berisi  pengaduan  yang  sangat
mengharukan:
 
"Allahumma   yang   Allah,   kepadaMu   juga   aku  mengadukan
kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta  kehinaan  diriku  di
hadapan  manusia.  O  Tuhan  Maha  Pengasih,  Maha  Penyayang.
Engkaulah yang melindungi si lemah, dan Engkaulah Pelindungku.
Kepada  siapa  hendak  Kauserahkan  daku?  Kepada  orang  yang
jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada  musuh  yang
akan  menguasai  diriku?  Asalkan Engkau tidak murka kepadaku,
aku  tidak  peduli,  sebab  sungguh   luas   kenikmatan   yang
Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang
menyinari kegelapan, dan karenanya  membawakan  kebaikan  bagi
dunia dan akhirat - daripada kemurkaanMu yang akan Kautimpakan
kepadaku.  Engkaulah  yang  berhak  menegur  hingga   berkenan
pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan Engkau juga."3
 
Dalam  memperhatikan  keadaan itu hati kedua orang anak Rabi'a
itu merasa tersentak. Mereka merasa iba  dan  kasihan  melihat
nasib   buruk  yang  dialaminya  itu.  Budak  mereka,  seorang
beragama Nasrani bernama 'Addas, diutus  kepadanya  membawakan
buah  anggur  dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di atas
buah-buahan itu Muhammad berkata: "Bismillah!" Lalu  buah  itu
dimakannya.
 
'Addas memandangnya keheranan.
 
"Kata-kata ini tak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini,"
kata 'Addas.
 
Lalu Muhammad menanyakan negeri  asal  dan  agama  orang  itu.
Setelah  diketahui  bahwa orang tersebut beragama Nasrani dari
Nineveh, katanya:
 
"Dari negeri orang baik-baik, Yunus anak Matta."
 
"Dari mana tuan kenal nama Yunus anak Matta!" tanya 'Addas.
 
"Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku  juga  Nabi,"  jawab
Muhammad.
 
Saat  itu  'Addas  lalu  membungkuk mencium kepala, tangan dan
kaki Muhammad. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan  keheranan
keluarga  Rabi'a  yang  melihatnya.  Sungguhpun  begitu mereka
tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka. Dan tatkala
'Addas sudah kembali mereka berkata:
 
"'Addas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu,
yang masih lebih baik daripada agamanya."
 
Gangguan orang  yang  pernah  dialami  Muhammad  seolah  dapat
meringankan   perbuatan   buruk  yang  dilakukan  Thaqif  itu,
meskipun mereka tetap kaku tidak mau mengikutinya. Keadaan itu
sudah  diketahui  pula  oleh  Quraisy sehingga gangguan mereka
kepada Muhammad  makin  menjadi-jadi.  Tetapi  hal  ini  tidak
mengurangi  kemauan Muhammad menyampaikan dakwah Islam. Kepada
kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, itu ia  memperkenalkan
diri,     mengajak    mereka    mengenal    arti    kebenaran.
Diberitahukannya kepada mereka,  bahwa  ia  adalah  Nabi  yang
diutus, dan dimintanya mereka mempercayainya.
 
Namun    sungguhpun   begitu,   Abu   Lahab   pamannya   tidak
membiarkannya,  bahkan  dibuntutinya   ke   mana   ia   pergi.
Dihasutnya orang supaya jangan mau mendengarkan.
 
Muhammad  sendiri tidak cukup hanya memperkenalkan diri kepada
kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah di Mekah  saja,  bahkan
ia  mendatangi  Banu  Kinda4 ke rumah-rumah mereka, mendatangi
Banu Kalb,5 juga ke rumah-rumah mereka, Banu Hanifa6 dan  Banu
'Amir bin Sha'sha'a.7 Tapi tak seorangpun dari mereka yang mau
mendengarkan. Banu Hanifa  bahkan  menolak  dengan  cara  yang
buruk  sekali.  Sedang Banu 'Amir menunjukkan ambisinya, bahwa
kalau Muhammad mendapat kemenangan, maka sebagai penggantinya,
segala  persoalan  nanti harus berada di tangan mereka. Tetapi
setelah dijawab, bahwa masalah itu  berada  di  tangan  Tuhan,
merekapun  lalu  membuang  muka  dan  menolaknya  seperti yang
lain-lain.
 
Adakah  kegigihan  kabilah-kabilah  yang  mengadakan   oposisi
terhadap  Muhammad  itu  karena  sebab-sebab yang sama seperti
yang dilakukan oleh Quraisy? Kita sudah  melihat,  bahwa  Banu
'Amir  ini  mempunyai  ambisi  ingin  memegang  kekuasaan bila
bersama-sama mereka nanti ia mendapat  kemenangan.  Sebaliknya
kabilah  Thaqif  pandangannya  lain  lagi.  Ta'if  di  samping
sebagai tempat musim panas bagi penduduk Mekah karena udaranya
yang  sejuk dan buah anggurnya yang manis-manis, juga kota ini
merupakan pusat tempat penyembahan Lat. Ke  tempat  itu  orang
berziarah  dan  menyembah  berhala.  Kalau  Thaqif  ini sampai
menjadi pengikut Muhammad, maka  kedudukan  Lat  akan  hilang.
Permusuhan  mereka  dengan  Quraisypun akan timbul, yang sudah
tentu akibatnya akan  mempengaruhi  perekonomian  mereka  pada
musim  dingin.  Begitu  juga  halnya  dengan yang lain, setiap
kabilah  mempunyai  penyakit  sendiri  yang  disebabkan   oleh
keadaan  perekonomian  setempat.  Dalam  menentang  Islam itu,
pengaruh ini lebih besar  terhadap  mereka  daripada  pengaruh
kepercayaan   mereka   dan  kepercayaan  nenek-moyang  mereka,
termasuk penyembahan berhala-berhala.
 
Makin  besar  oposisi  yang  dilakukan  kabilah-kabilah   itu,
Muhammad  makin  mau  menyendiri.  Makin  gigih  pihak Quraisy
melakukan gangguan kepada sahabat-sahabatnya,  makin  pula  ia
merasakan pedihnya.

Masa  berkabung  terhadap  Khadijah itupun sudah pula berlalu.
Terpikir olehnya akan  beristeri,  kalau-kalau  isterinya  itu
kelak akan dapat juga menghiburnya, dapat mengobati luka dalam
hatinya, seperti dilakukan Khadijah dulu. Tetapi dalam hal ini
ia   melihat   pertaliannya   dengan  orang-orang  Islam  yang
mula-mula itu harus makin dekat dan perlu dipererat lagi.  Itu
sebabnya  ia  segera  melamar  puteri  Abu  Bakr, Aisyah. Oleh
karena waktu itu ia masih gadis kecil yang baru berusia  tujuh
tahun,  maka  yang sudah dilangsungkan baru akad nikah, sedang
perkawinan berlangsung  dua  tahun  kemudian,  ketika  usianya
mencapai sembilan tahun.
 
Sementara  itu  ia kawin pula dengan Sauda, seorang janda yang
suaminya  pernah  ikut  mengungsi  ke  Abisinia  dan  kemudian
meninggal  setelah kembali ke Mekah. Saya rasa pembacapun akan
dapat  menangkap  arti  kedua  ikatan  ini.   Arti   pertalian
perkawinan dan semenda yang dilakukan oleh Muhammad itu, nanti
akan lebih jelas.

Pada masa itulah Isra' dan Mi'raj terjadi. Malam itu  Muhammad
sedang  berada  di  rumah saudara sepupunya, Hindun puteri Abu
Talib yang mendapat  nama  panggilan  Umm  Hani'.  Ketika  itu
Hindun mengatakan:
 
"Malam  itu  Rasulullah  bermalam di rumah saya. Selesai salat
akhir malam, ia tidur dan kamipun tidur.  Pada  waktu  sebelum
fajar  Rasulullah  sudah  membangunkan kami. Sesudah melakukan
ibadat pagi bersama-sama kami, ia berkata:  'Umm  Hani',  saya
sudah  salat  akhir  malam  bersama kamu sekalian seperti yang
kaulihat  di  lembah  ini.  Kemudian  saya  ke   Bait'l-Maqdis
(Yerusalem)   dan   bersembahyang   di   sana.  Sekarang  saya
sembahyang siang bersama-sama kamu seperti kaulihat."
 
Kataku: "Rasulullah, janganlah menceritakan ini  kepada  orang
lain. Orang akan mendustakan dan mengganggumu lagi!"
 
"Tapi harus saya ceritakan kepada mereka," jawabnya.
 
Orang   yang  mengatakan,  bahwa  Isra'  dan  Mi'raj  Muhammad
'alaihissalam dengan ruh itu berpegang kepada  keterangan  Umm
Hani'  ini, dan juga kepada yang pernah dikatakan oleh Aisyah:
"Jasad Rasulullah s.a.w. tidak hilang, tetapi Allah menjadikan
isra'8  itu dengan ruhnya." Juga Mu'awiya b. Abi Sufyan ketika
ditanya tentang isra' Rasul menyatakan: Itu adalah mimpi  yang
benar  dari Tuhan. Di samping semua itu orang berpegang kepada
firman Tuhan: "Tidak lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu
adalah sebagai ujian bagi manusia." (Qur'an, 17:60)
 
Sebaliknya  orang  yang berpendapat, bahwa isra' dari Mekah ke
Bait'l-Maqdis itu dengan jasad,  landasannya  ialah  apa  yang
pernah  dikatakan  oleh  Muhammad,  bahwa  dalam  isra' itu ia
berada di pedalaman, seperti yang  akan  disebutkan  ceritanya
nanti.  Sedang  mi'raj  ke langit adalah dengan ruh. Disamping
mereka itu ada  lagi  pendapat  bahwa  isra'  dan  mi'raj  itu
keduanya  dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan pendapat ini
di kalangan ahli-ahli iImu kalam banyak sekali dan ribuan pula
tulisan-tulisan  sudah  dikemukakan  orang. Sekitar arti isra'
ini kami sendiri sudah  mempunyai  pendapat  yang  ingin  kami
kemukakan juga. Kita belum mengetahui, sudah adakah orang yang
mengemukakannya sebelum  kita,  atau  belum.  Tetapi,  sebelum
pendapat  ini kita kemukakan - dan supaya dapat kita kemukakan
- perlu sekali kita menyampaikan kisah isra,  dan  mi'raj  ini
seperti yang terdapat dalam buku-buku sejarah hidup Nabi.
 
Dengan  indah  sekali  Dermenghem  melukiskan  kisah  ini yang
disarikannya dari  pelbagai  buku  sejarah  hidup  Nabi,  yang
terjemahannya sebagai berikut:
 
"Pada  tengah  malam  yang  sunyi  dan  hening,  burung-burung
malampun diam membisu, binatang-binatang  buas  sudah  berdiam
diri,  gemercik  air dan siulan angin juga sudah tak terdengar
lagi,  ketika  itu  Muhammad   terbangun   oleh   suara   yang
memanggilnya:  "Hai  orang  yang sedang tidur, bangunlah!" Dan
bila ia bangun, dihadapannya  sudah  berdiri  Malaikat  Jibril
dengan  wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti salju,
melepaskan rambutnya yang pirang  terurai,  dengan  mengenakan
pakaian  berumbaikan  mutiara dan emas. Dan dari sekelilingnya
sayap-sayap  yang  beraneka  warna   bergeleparan.   Tangannya
memegang  seekor  hewan  yang ajaib, yaitu buraq yang bersayap
seperti sayap garuda. Hewan itu membungkuk di  hadapan  Rasul,
dan Rasulpun naik.
 
"Maka  meluncurlah  buraq  itu seperti anak panah membubung di
atas pegunungan Mekah, di atas pasir-pasir sahara menuju  arah
ke utara. Dalam perjalanan itu ia ditemani oleh malaikat. Lalu
berhenti di gunung Sinai  di  tempat  Tuhan  berbicara  dengan
Musa.   Kemudian   berhenti   lagi  di  Bethlehem  tempat  Isa
dilahirkan. Sesudah itu kemudian meluncur di udara.
 
"Sementara itu ada suara-suara misterius mencoba  menghentikan
Nabi,  orang  yang  begitu  ikhlas  menjalankan risalahnya. Ia
melihat, bahwa hanya Tuhanlah yang  dapat  menghentikan  hewan
itu di mana saja dikehendakiNya.
 
"Seterusnya   mereka   sampai   ke   Bait'l-Maqdis.   Muhammad
mengikatkan  hewan  kendaraannya  itu.  Di  puing-puing   kuil
Sulaiman  ia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan Isa.
Kemudian dibawakan tangga, yang lalu dipancangkan diatas  batu
Ya'qub. Dengan tangga itu Muhammad cepat-cepat naik ke langit.
 
"Langit    pertama    terbuat    dari   perak   murni   dengan
bintang-bintang yang digantungkan dengan  rantai-rantai  emas.
Tiap  langit  itu  dijaga  oleh  malaikat,  supaya  jangan ada
setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan
mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit inilah Muhammad
memberi hormat kepada Adam. Di tempat ini pula  semua  makhluk
memuja   dan  memuji  Tuhan.  Pada  keenam  langit  berikutnya
Muhammad bertemu  dengan  Nuh,  Harun,  Musa,  Ibrahim,  Daud,
Sulaiman,  Idris, Yahya dan Isa. Juga di tempat itu ia melihat
Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara  kedua
matanya  adalah  sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena
kekuasaanNya, maka yang berada  di  bawah  perintahnya  adalah
seratus  ribu  kelompok.  Ia  sedang mencatat nama-nama mereka
yang lahir dan mereka yang mati, dalam sebuah buku  besar.  Ia
melihat  juga Malaikat Airmata, yang menangis karena dosa-dosa
orang, Malaikat Dendam yang berwajah  tembaga  yang  menguasai
anasir api dan sedang duduk di atas singgasana dari nyala api.
Dan dilihatnya juga ada malaikat yang besar luar biasa, separo
dari   api  dan  separo  lagi  dari  salju,  dikelilingi  oleh
malaikat-malaikat yang merupakan kelompok yang tiada  hentinya
menyebut-nyebut  nama  Tuhan: O Tuhan, Engkau telah menyatukan
salju dengan api, telah menyatukan semua hambaMu setia menurut
ketentuan Mu.
 
"Langit  ketujuh  adalah  tempat orang-orang yang adil, dengan
malaikat  yang  lebih  besar  dari  bumi  ini  seluruhnya.  Ia
mempunyai  tujuhpuluh ribu kepala, tiap kepala tujuhpuluh ribu
mulut, tiap mulut tujuhpuluh  ribu  lidah,  tiap  lidah  dapat
berbicara  dalam  tujuh  puluh ribu bahasa, tiap bahasa dengan
tujuhpuluh ribu dialek. Semua  itu  memuja  dan  memuji  serta
mengkuduskan Tuhan.
 
"Sementara  ia  sedang  merenungkan makhluk-makhluk ajaib itu,
tiba-tiba ia membubung lagi sampai  di  Sidrat'l-Muntaha  yang
terletak  di  sebelah  kanan  'Arsy, menaungi berjuta-juta ruh
malaikat. Sesudah melangkah, tidak sampai sekejap  matapun  ia
sudah   menyeberangi   lautan-lautan   yang  begitu  luas  dan
daerah-daerah cahaya yang terang-benderang, lalu  bagian  yang
gelap  gulita disertai berjuta juta tabir kegelapan, api, air,
udara dan angkasa. Tiap macam dipisahkan oleh jarak 500  tahun
perjalanan.  Ia melintasi tabir-tabir keindahan, kesempurnaan,
rahasia,  keagungan  dan  kesatuan.   Dibalik   itu   terdapat
tujuhpuluh ribu kelompok malaikat yang bersujud tidak bergerak
dan tidak pula diperkenankan meninggalkan tempat.
 
"Kemudian terasa lagi ia membubung ke atas ke tempat Yang Maha
Tinggi. Terpesona sekali ia. Tiba-tiba bumi dan langit menjadi
satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia melihatnya,  seolah-olah
sudah   hilang   tertelan.   Keduanya   tampak  hanya  sebesar
biji-bijian di tengah-tengah ladang yang membentang luas.
 
"Begitu seharusnya manusia itu, di hadapan Raja semesta alam.
 
"Kemudian lagi ia sudah berada di hadapan 'Arsy,  sudah  dekat
sekali.  Ia  sudah dapat melihat Tuhan dengan persepsinya, dan
melihat segalanya yang tidak dapat dilukiskan dengan lidah, di
luar  jangkauan  otak  manusia  akan  dapat menangkapnya. Maha
Agung Tuhan mengulurkan sebelah tanganNya di dada Muhammad dan
yang  sebelah  lagi  di  bahunya.  Ketika  itu  Nabi merasakan
kesejukan di tulang punggungnya. Kemudian rasa tenang,  damai,
lalu fana ke dalam Diri Tuhan yang terasa membawa kenikmatan.
 
"Sesudah  berbicara... Tuhan memerintahkan hambaNya itu supaya
setiap Muslim setiap hari sembahyang  limapuluh  kali.  Begitu
Muhammad  kembali  turun  dari langit, ia bertemu dengan Musa.
Musa berkata kepadanya:
 
"Bagaimana   kauharapkan   pengikut-pengikutmu   akan    dapat
melakukan  salat  limapuluh kali tiap hari? Sebelum engkau aku
sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil
sejauh  yang  dapat  kulakukan.  Percayalah dan kembali kepada
Tuhan, minta supaya dikurangi jumlah sembahyang itu.
 
"Muhammadpun kembali. Jumlah sembahyang  juga  lalu  dikurangi
menjadi  empatpuluh.  Tetapi Musa menganggap itu masih di luar
kemampuan  orang.  Disuruhnya  lagi  Nabi   penggantinya   itu
berkali-kali  kembali  kepada  Tuhan  sehingga berakhir dengan
ketentuan yang lima kali.
 
"Sekarang Jibril membawa Nabi  mengunjungi  surga  yang  sudah
disediakan  sesudah  hari  kebangkitan, bagi mereka yang teguh
iman. Kemudian Muhammad kembali dengan  tangga  itu  ke  bumi.
Buraqpun  dilepaskan.  Lalu  ia  kembali dari Bait'l-Maqdis ke
Mekah naik hewan bersayap."
Demikian cerita Dermenghem tentang Isra' dan  Mi'raj.  Kitapun
dapat  melihat,  apa  yang  diceritakannya itu memang tersebar
luas dalam buku-buku sejarah hidup Nabi, sekalipun  akan  kita
lihat juga bahwa semua itu berbeda-beda. Di sana-sini dilebihi
atau dikurangi.
 
Salah satu contoh misalnya cerita Ibn  Hisyam  melalui  ucapan
Nabi  'alaihissalam  sesudah  berjumpa  dengan  Adam di langit
pertama,  ketika  mengatakan:  "Kemudian  kulihat  orang-orang
bermoncong   seperti  moncong  unta,  tangan  mereka  memegang
segumpal api seperti  batu-batu,  lalu  dilemparkan  ke  dalam
mulut  mereka  dan  keluar  dari  dubur.  Aku bertanya: "Siapa
mereka itu, Jibril?".  "Mereka yang  memakan  harta  anak-anak
yatim  secara  tidak  sah,"  jawab  Jibril.  Kemudian  kulihat
orang-orang dengan perut yang belum pernah kulihat dengan cara
keluarga  Fir'aun  menyeberangi  mereka seperti unta yang kena
penyakit dalam kepalanya, ketika dibawa ke dalam  api.  Mereka
diinjak-injak  tak  dapat  beranjak  dari  tempat  mereka. Aku
bertanya:   "Siapa   mereka   itu,   Jibril?".   "Mereka   itu
tukang-tukang  riba,"  jawabnya. Kemudian kulihat orang-orang,
di hadapan mereka ada daging yang gemuk dan baik,  di  samping
ada  daging  yang  buruk  dan  busuk. Mereka makan daging yang
buruk dan busuk itu dan meninggalkan yang gemuk dan baik.  Aku
bertanya:  "Siapakah  mereka itu, Jibril"? "Mereka orang-orang
yang meninggalkan wanita yang  dihalalkan  Tuhan  dan  mencari
wanita   yang  diharamkan,"  jawabnya.  Kemudian  aku  melihat
wanita-wanita yang digantungkan pada buah  dadanya.  Lalu  aku
bertanya:  "Siapa mereka itu, Jibril?" "Mereka itu wanita yang
memasukkan laki-laki lain  bukan  dari  keluarga  mereka  ..."
Kemudian  aku  dibawa  ke surga. Di sana kulihat seorang budak
perempuan,  bibirnya  merah.  Kutanya  dia:  "Kepunyaan  siapa
engkau?"-Aku  tertarik  sekali  waktu  kulihat. "Aku kepunyaan
Zaid ibn  Haritha,"  jawabnya.  Maka  Rasulullah  s.a.w.  lalu
memberi selamat kepada Zaid ibn Haritha."
 
Selain dari buku Ibn Hisyam ini, dalam buku-buku sejarah hidup
Nabi yang lain dan dalam buku-buku tafsir orang  akan  melihat
bermacam-macam  hal  lagi  di  samping  itu. Sudah menjadi hak
setiap penulis sejarah bila  akan  bertanya-tanya,  sampai  di
mana  benar  ketelitian  dan  penyelidikan  yang mereka adakan
dalam hal  ini  semua;  mana  yang  boleh  dijadikan  pegangan
(askripsi)  sampai  kepada  Nabi  sesuai  dengan pegangan yang
sahih (otentik), dan mana pula yang hanya berupa  buah  khayal
orang-orang tasauf dan sebangsanya.
 
Kalau  di  sini tidak cukup ruangan untuk mengadakan ketentuan
atau penyelidikan dalam bidang tersebut, dan kalau bukan  pula
di sini tempatnya untuk menyatakan apakah isra' dan mi'raj itu
keduanya dengan jasad, ataukah mi'raj  dengan  ruh  dan  isra'
dengan jasad, ataukah isra' dan mi'raj itu semuanya dengan ruh
- maka sudah tentu bahwa tiap pendapat itu akan  ada  dasarnya
pada  ahli-ahli  ilmu  kalam  dan tak ada salahnya, kalau atas
pendapat-pendapat itu orang menyatakan  pendiriannya  sendiri,
yang akan berbeda pula satu dari yang lain.
 
Jadi  barangsiapa yang mau menyatakan pendapatnya, bahwa isra'
dan mi'raj itu  keduanya  dengan  ruh,  maka  dasarnya  adalah
seperti yang kita kemukakan tadi dan sudah berulang-ulang pula
disebutkan dalam Qur'an dan diucapkan Rasul.
 
"Sungguh aku ini manusia  seperti  kamu  juga  yang  diberikan
wahyu   kepadaku.  Tetapi  Tuhanmu  adalah  Tuhan  Yang  Esa,"
(Qur'an. 18: 110)
 
dan bahwa satu-satunya mujizat Muhammad ialah Qur'an, dan
 
"Bahwasanya  Allah  tidak  akan  mengampuni  dosa  orang  yang
mempersekutukanNya,  tetapi  Dia mengampuni segala dosa selain
(syirik) itu, siapa saja yang dikehendakiNya." (Qur'an, 4:48)
 
Orang yang berpendapat demikian ini -sebenarnya melebihi  yang
lain-  ia  akan bertanya, apa sebenarnya arti isra' dan mi'raj
itu. Di sinilah letak pendapat yang ingin kita kemukakan. Kita
belum  mengetahui,  sudah  adakah  orang  mengemukakan hal ini
sebelum kita, atau belum.
 
Isra' dan mi'raj ini dalam hidup kerohanian Muhammad mempunyai
arti yang tinggi dan agung sekali, suatu arti yang lebih besar
dari yang biasa mereka lukiskan itu, yang kadang tidak sedikit
dikacau  dan  dirusak oleh imajinasi ahli-ahli ilmu kalam yang
subur itu. Jiwa yang sungguh kuat itu, tatkala  terjadi  isra'
dan  mi'raj,  telah dipersatukan oleh kesatuan wujud ini, yang
sudah sampai pada puncak kesempurnaannya. Pada  saat  itu  tak
ada  sesuatu  tabir  ruang  dan  waktu atau sesuatu yang dapat
mengalangi  intelek  dan  jiwa  Muhammad,  yang  akan  membuat
penilaian  kita tentang hidup ini menjadi nisbi, terbatas oleh
kekuatan-kekuatan kita yang sensasional, yang dapat  diarahkan
menurut akal pikiran. Pada saat itu semua batas jadi hanyut di
depan hati nurani Muhammad. Seluruh  alam  semesta  ini  sudah
bersatu  ke  dalam  jiwanya, yang lalu disadarinya, sejak dari
awal yang azali sampai pada  akhir  yang  abadi  -sejak  dunia
mulai  berkembang  sampai ke akhir zaman. Digambarkannya dalam
perkembangan kesunyian  dirinya  dalam  mencapai  kesempurnaan
itu,  dengan jalan kebaikan dan keindahan dan kebenaran, dalam
mengatasi  dan  mengalahkan  segala   kejahatan,   kekurangan,
keburukan  dan  kebatilan,  dengan  karunia  dan ampunan Tuhan
juga. Orang tidak akan mencapai keluhuran demikian itu,  kalau
tidak dengan suatu kekuatan yang berada di atas kodrat manusia
yang pernah dikenalnya.
 
Apabila sesudah itu kemudian datang orang-orang  yang  menjadi
pengikut   Muhammad   yang   tidak   sanggup  mengikuti  jejak
pikirannya yang begitu tinggi, dengan  kesadaran  yang  begitu
kuat  tentang  kesatuan alam, kesempurnaan serta perjuangannya
mencapai kesempurnaan itu, maka hal ini tidak mengherankan dan
bukan  pula  aib  tentunya. Orang-orang yang piawai dan jenial
memang  bertingkat-tingkat.  Dalam  kita  mencapai   kebenaran
inipun  selalu  terbentur  pada  batas-batas  ini; tenaga kita
sudah tidak mampu mengatasinya.
 
Apabila kita mau menyebutkan sebagai  contoh  -dengan  sedikit
perbedaan  tentunya,  sehubungan  dengan  apa yang kita hadapi
sekarang ini- cerita orang-orang buta  yang  ingin  mengetahui
gajah  itu  apa,  maka  salah  seorang  dari  mereka  itu akan
berkata, bahwa gajah itu ialah seutas tali yang panjang, sebab
kebetulan  yang  terpegang adalah buntutnya; yang seorang lagi
berkata, bahwa gajah itu sebatang pohon, sebab kebetulan  yang
dijumpainya  adalah  kakinya; yang ketiga berkata, bahwa gajah
itu  runcing  seperti  anak  panah,   sebab   kebetulan   yang
dijumpainya  adalah  taringnya;  yang  keempat  berkata, bahwa
gajah itu bulat panjang dan  bengkok,  banyak  bergerak-gerak,
sebab kebetulan yang dipegangnya adalah belalainya.
 
Contoh  ini  sebenarnya  masih  sejalan  dengan  gambaran yang
terbayang ketika orang yang tidak buta itu melihat gajah untuk
pertama   kalinya.   Boleh   juga   kiranya   kita   mengambil
perbandingan antara persepsi  (kesadaran)  Muhammad  menangkap
esensi   kesatuan   alam  ini  serta  penggambarannya  kedalam
isra'dan mi'raj yang berhubungan dengan  waktu  pertama  sejak
sebelum  Adam sampai pada akhir hari kebangkitan dan yang akan
menghilangkan pula kesudahan  ruang  ini,  ketika  ia  melihat
dengan  mata  batin dari Sidrat'l Muntaha ke alam semesta ini,
yang ada  sekarang  di  hadapannya  dan  sudah  seperti  kabut
-dengan  persepsi  (kesadaran)  kebanyakan  orang  yang  dapat
menangkap arti isra'-mi'raj itu.  Tatkala  itu  ia  berhadapan
dengan bagian-bagian yang tidak termasuk kesatuan alam, sedang
hidupnya hanya seperti partikel-partikel tubuh, bahkan seperti
partikel-partikel   yang   melekat   pada   tubuh  itu  dengan
susunannya yang tidak terpengaruh karenanya.  Dari  mana  pula
partikel-partikel  daripada  hidup  tubuh  itu,  dari denyutan
jantungnya, pancaran jiwanya,  pikirannya  yang  penuh  dengan
enersi yang tak kenal batas; sebab, dari wujud hidup itulah ia
berhubungan dengan segala kehidupan alam ini.
 
Isra' dengan ruh dalam pengertiannya adalah seperti isra'  dan
mi'raj juga yang semuanya dengan ruh. Ini adalah begitu luhur,
begitu indah dan agung. Ia merupakan suatu gambaran yang  kuat
sekali  dalam  arti kesatuan rohani sejak dari awal yang azali
sampai pada akhir yang abadi. Ini adalah  suatu  pendakian  ke
atas Gunung Sinai, tatkala Tuhan berbicara dengan Musa, dan ke
Bethlehem, tempat Isa dilahirkan.  Pertemuan  rohani  demikian
ini  sudah  mengandung  selawat  bagi  Muhammad, Isa, Musa dan
Ibrahim,  suatu  manifestasi  yang  kuat  sekali  dalam   arti
kesatuan  hidup  agama sebagai suatu sendi kesatuan alam dalam
edarannya yang terus-menerus menuju kepada kesempurnaan.
 
Ilmu pengetahuan pada masa kita sekarang  ini  mengakui  isra'
dengan  ruh  dan  mengakui  pula  mi'raj  dengan  ruh. Apabila
tenaga-tenaga  yang  bersih  itu  bertemu,  maka  sinar   yang
benarpun akan memancar. Dalam bentuk tertentu sama pula halnya
dengan tenaga-tenaga alam ini,  yang  telah  membukakan  jalan
kepada Marconi ketika ia menemukan suatu arus listrik tertentu
dari kapalnya yang sedang berlabuh di  Venesia.  Dengan  suatu
kekuatan   gelombang   ether  arus  listrik  itu  telah  dapat
menerangi kota Sydney di Australia.
 
IImu pengetahuan zaman  kita  sekarang  ini  membenarkan  pula
teori telepati serta pengetahuan lain yang bersangkutan dengan
itu. Demikian juga transmisi suara  di  atas  gelombang  ether
dengan   radio,   telephotography  (facsimile  transmisi)  dan
teleprinter lainnya, suatu hal  yang  tadinya  masih  dianggap
suatu   pekerjaan  khayal  belaka.  Tenaga-tenaga  yang  masih
tersimpan dalam alam semesta  ini  setiap  hari  masih  selalu
memperlihatkan  yang baru kepada alam kita. Apabila jiwa sudah
mencapai kekuatan dan kemampuan  yang  begitu  tinggi  seperti
yang   sudah  dicapai  oleh  jiwa  Muhammad  itu,  lalu  Allah
memperjalankan dia pada suatu  malam  dari  Masjid'l-Haram  ke
al-Masjid'l-Aqsha,  yang  disekelilingnya  sudah diberi berkah
guna memperlihatkan tanda-tanda kebesaranNya, maka itupun oleh
ilmu  pengetahuan  dapat pula dibenarkan. Arti semua ini ialah
pengertian-pengertian yang begitu kuat dan luhur, begitu indah
dan  agung,  dan  telah  pula membayangkan kesatuan rohani dan
kesatuan alam semesta ini begitu jelas dan  tegas  dalam  jiwa
Muhammad.  Orang akan dapat memahami arti semua ini apabila ia
dapat berusaha menempatkan diri  lebih  tinggi  dari  bayangan
hidup  yang singkat ini. Ia berusaha mencapai esensi kebenaran
tertinggi itu guna memahami kedudukannya yang  sebenarnya  dan
kedudukan alam ini seluruhnya.
 
Orang-orang  Arab  penduduk  Mekah  tidak dapat memahami semua
pengertian ini. Itulah pula sebabnya, tatkala soal  isra'  itu
oleh   Muhammad  disampaikan  kepada  mereka,  merekapun  lalu
menanggapinya dari bentuk materi - mungkin atau tidaknya isra'
itu. Apa yang dikatakannya itu kemudian menimbulkan kesangsian
juga pada beberapa orang pengikutnya,  pada  orang-orang  yang
tadinya  sudah percaya. Mereka banyak yang mengatakan: Masalah
ini sudah  jelas.  Perjalanan  kafilah  yang  terus-meneruspun
antara  Mekah-Syam  memakan  waktu  sebulan  pergi dan sebulan
pulang.  Mana  boleh  jadi  Muhammad  hanya  satu  malam  saja
pergi-pulang ke Mekah?!
 
Tidak  sedikit  mereka  yang sudah Islam itu kemudian berbalik
murtad. Mereka yang masih menyangsikan hal ini lalu mendatangi
Abu  Bakr dan keterangan yang diberikan Muhammad itu dijadikan
bahan pembicaraan.
 
"Kalian berdusta," kata Abu Bakr.
 
"Sungguh," kata mereka.  "Dia di mesjid sedang  bicara  dengan
orang banyak."
 
"Dan  kalaupun  itu  yang  dikatakannya,"  kata Abu Bakr lagi,
"tentu dia bicara yang sebenarnya.  Dia  mengatakan  kepadaku,
bahwa  ada  berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu
malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari  yang  kamu
herankan."
 
Abu  Bakr  lalu mendatangi Nabi dan mendengarkan ia melukiskan
Bait'l-Maqdis. Abu Bakr sudah pernah berkunjung ke kota itu.
 
Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata:
 
"Rasulullah, saya percaya."
 
Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan "AshShiddiq."9
 
Alasan mereka yang berpendapat bahwa isra'  itu  dengan  jasad
ialah  karena ketika Quraisy mendengar tentang kejadian Suraqa
mereka  menanyakannya  dan  mereka  yang  sudah  beriman  juga
menanyakan  tentang  peristiwa  yang  luar  biasa  itu. Mereka
memang  belum  pernah  mendengar   hal   semacam   itu.   Lalu
diceritakannya  tentang  adanya kafilah yang pernah dilaluinya
di tengah jalan. Ketika ada seekor unta dari kafilah tersesat,
dialah  yang  menunjukkan. Pernah ia minum dari sebuah kafilah
lain dan sesudah  minum  lalu  ditutupnya  bejana  itu.  Pihak
Quraisy   menanyakan   hal   tersebut.  Kedua  kafilah  itupun
membenarkan apa yang telah diceritakan Muhammad itu.
 
Saya kira, kalau dalam hal ini orang  bertanya  kepada  mereka
yang  berpendapat  tentang  isra' dengan ruh itu, tentu mereka
tidak akan  merasa  heran  sesudah  ternyata  ilmu  masa  kita
sekarang    ini   dapat   mengetahui   mungkinnya   hypnotisma
menceritakan hal-hal yang terjadi di tempat-tempat yang  jauh.
Apalagi  dengan  ruh  yang  dapat  menghimpun kehidupan rohani
dalam seluruh alam ini. Dengan  tenaga  yang  diberikan  Tuhan
kepadanya  ia dapat mengadakan komunikasi dengan rahasia hidup
ini dari awal alam azali sampai pada akhirnya yang abadi.
 
Catatan kaki:
 
 1 Biasanya tempat ini dinamai 'Syi'b Abi Talib' (A).
   
 2 At-Ta'if sebuah kota dan pusat musim panas dengan
   ketinggian 1520 m, dari permukaan laut, lebih kurang 60
   km timur laut Mekah (A).
   
 3 Doa ini dikenal dengan nama "Doa Ta'if" (A).
   
 4 Sebuah Kabilah Arab dari bagian Selatan (A).
   
 5 Kabilah Arab yang berdekatan dengah Suria (A).
   
 6 Kabilah Arab di dekat Irak (A).
   
 7 Kabilah Arab yang terpencar-pencar (A).
   
 8 Asra, sura dan isra', harfiah berarti "perjalanan
   malam hari" (LA). 'Araja berarti naik atau memanjat.
   Mi'raj harfiah tangga (N) (A).
9 Yang tulus hati, yang sangat jujur (A).
S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
 
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
 
Penerbit PUSTAKA JAYA
Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat
Cetakan Kelima, 1980

Tidak ada komentar:

Posting Komentar