Seorang ahli ibadah
dari bani Israil bernama juraij membuat tempat ibadah untuk melakukan
ibadah-ibadahnya. Kemudian ibunya dating memanggilny, “Hai Juraij.” Ia
menjawab, “ Oh Tuhan, ibuku memanggil dan kami mau shalat, “ maka ibunya
pulang.
Kemudian keesokan
harinya ibunya datang lagi dan memanggil , “hai Juraij.” Ia menjawab, “Oh
Tuhan, ibuku memanggil dan kami mau shalat, “lalu ia pun melakukan shalat dan
ibunya terus pulang.. keesokan harinya ibunya datang lagi dan memanggil, “hai
Juraij.” Ia menjawab, “Oh Tuhan, ibuku memanggil dan kami hendak shalat, “dan
ia memilih shalat, maka ibunya jengkel hingga berdo’a : “Ya Allah, jangan
matikan anak kami ini sebelum ia melihat wajah perempuan lacur!”.
Orang-orang Bani
Israil menyebut-nyebut tentang keshalehan dan ibadah Juraij yang begitu hebat.
Tiba-tiba seorang perempuan lacur yang terkenal akan kecantikannya, berkata,
“kalau kalian mau saya sanggup menggugurkan ibadahnya Juraij!”.
Kemudian perempuan
itu merayu dan menggodanya, tetapi Juraij tidak memperdulikan sedikit pun
hingga ia jengkel, lalu ia berzina dengan seorang pengembala yang tidak jauh
dari tempat ibadah Juraij. Akhirnya ia hamil, dan setelah ia melahirkan, ia pun
mengatakan kepada orang-orang bahwa anak yang ia lahirkan adalah hasil hubungan
dengan Juraij. Maka orang-orang mendatangi Juraij dan mereka memaksanya turun.
Lalu Juraij dipukuli bersama-sama dan tempat ibadahnya dihancurkan. Ia bertanya
, “Mengapa kalian berbuat begitu? Apakah salahku?”
Mereka menjawab,
“kamu telah beerzina dengan perempuan ini hingga ia melahirkan.”
Ia bertanya, “
Dimanakah sekarang bayinya?”
Maka mereka
memberikan bayi itu kepadanya, lalu Juraij me4lakukan shalat. Kemudian dia
mendekati bayi itu dan menekannya dengan jari-jarinya seraya berkata, “Siapakah
ayahmu? “ Tiba-tiba bayi itu menjawab, “ saya adalah anak si pengembala!”
Ketika mereka
mendengar omongan bayi itu mereka lalu memeluk dan mencium Juraij seraya
berkata, “ sukakah kamu bila tempat ibadahmu ini kami bangun dari emas?”
Juraij menjawab, “
tidak, kembalikan saja seperti sedia kala,” kemudian orang-orang pun membangun
kembali.[1]
[1] Saiful Hadi El-Sutha, MUTIARA HIKAYAT kumpulan kisah-kisah penuh
teladan hidup, PT Gelora Aksara Pratama, Jakarta ,2005,
Hal: 79-81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar