“Mas, jika benar bahwa 20% dari Anggaran Negara dan Anggaran Daerah dialokasikan ke Pendidikan, menurut mas itu akan jadi bagaimana?”
Saya tidak begitu paham dengan arah pertanyaan itu, tetapi saya tahu bahwa beliau tidak hendak mendengar jawaban saya. Sebagaimana model orang tua lainnya, posisi saya pada akhirnya akan menjadi pendengar pendapat beliau.
“Kalau saya, Pak. Tentu saja untuk penerima manfaat yang paling akhir, yakni siswa, atau murid, atau siapapun dari masyarakat yang memang pemegang hak utama atas anggaran.”
“Ya, kalau itu saya tahu mas. Hanya saja saya heran saat ini banyak yang tidak paham mengapa anggaran pendidikan itu butuh porsi rupiah yang besar. Kalau kita ingin negara kita maju, pendidikan kita maju, tentunya jumlah anggaran 20% itu bukan hal yang neko-neko.Tentunya dengan anggaran yang besar, akan bisa mensejahterakan guru, akan ada sarana dan prasarana yang berkualitas dan juga riset yang bisa dibiayai dengan baik”
“ …Dan , kemudian membuat siapapun, termasuk orang miskin, bisa masuk sekolah, Pak?”
“Yah, terjangkau lah. Memang, pada intinya, pendidikan yang berkualitas itu mahal. Itu yang saya garis bawahi. Dari segala-galanya: ekonomi, daya jangkau dan lain sebagainya. Kalaupun orang miskin ingin dapat yang berkualitas, ini masalah subsidi dan jangkauan, Mas.
“Berarti yang murah itu tidak berkualitas, begitu pak?”
“Ya kalau ada yang murah berkualitas, itu anomali, mas. Hahaha….Bayangkan lah: kalau murah, maka tenaganya murahan, tidak bisa beli sarana dan prasarana, tidak bisa membiayai guru yang profesional, tidak bisa melakukan riset, dan juga tidak bisa menjawab tantangan masa depan, Mas…”
“Bagaimana dengan hak orang miskin untuk mendapatkan pendidikan murah, Pak? Kalau dari pendapat Bapak, sepertinya tempat mereka kok rentan sekali dan sangat bergantung dari bagaimana si kaya ataupun si pintar memiliki sikap yang pilantropik ataupun provetik.”
”Ya disinilah persoalannya, Mas. Pintar saja tidak cukup. Pintar itu harus kaya kalau mau survive. Sejauh negara kita masih miskin, maka akan susah melakukan pendidikan yang ideal dan bermanfaat untuk semua.Itu kenyataan, Mas.”
Diskusi ini berakhir dengan salam dan tanpa kesimpulan. Beliau bertemu dengan orang yang ditunggunya dan saya mesti wawancara dengan orang lain di dinas itu. Kami berpisah untuk mengurus urusan kami sendiri-sendiri.
***
Selepas itu, saya tidak habis pikir jika pernyataan tersebut terlontar dari seseorang yang bekerja di Dinas Pendidikan DIY. Mungkin saja bahwa hal itu hanya keluar dari satu orang dinas dan tidak mewakili keseluruhan pendapat setiap mahluk berseragam, abdi negara yang mengurus masalah pendidikan Indonesia . Bayangkan jika pikiran ini menjangkiti setiap pegawai dinas, wah, tentunya bagian yang paling tergerus oleh kepongahan lembaga pendidikan di Indonesia adalah yang paling besar. Bagian besar itu adalah kaum miskin, kaum pedesaan, kaum perempuan dan juga suku-suku pedalaman yang menghirup sebagian besar udara di Indonesia .
Kenyataan mahalnya sekolah, mahalnya masuk kursus, mahalnya mendapatkan pengajaran lewat lembaga pendidikan di indonesia memang tidak bisa ditolak. Perguruan tinggi swasta sudah sejak lama mahal. Perguruan tinggi negeri, tentunya, sudah tidak bisa lagi menerima kaum kere, kecuali kaum kere itu memang pintarnya di luar akal normal. SMA, tentu saja tidak ada yang gratis. Rata-rata orang tua paling tidak menyediakan 30 ribu rupiah per minggu untuk uang saku dan praktek anaknya. SMP dan SD di beberapa daerah sudah gratis, tetapi masih ada keluhan ketika ada paket LKS masih harus membayar, urunan untuk ini itu dll.
Sekalipun pendidikan digratiskan, benarkah bahwa itu sudah menjamin kualitas yang baik? Ternyata di Indonesia ini tidak ada jaminan bahwa sekolah murah akan menjamin kualitas pendidikan di dalamnya. Yang berlaku: kalau mau mendapat pendidikan yang baik, tentulah harus dengan harga mahal untuk bisa meraihnya. Makanya, sekolah-sekolah internasional, sekolah-sekolah alam, dengan berbagai materi terbaru macam quantum learning, internet, dll adalah sekolah-sekolah yang menjadi negeri khayangan bagi anak-anak jalanan, orang-orang desa dlsb. Sebaliknya, jika memang hanya punya duit pas-pasan, ya terima saja pendidikan sesuai kurikulum di Indonesia dengan standard Indonesia .
Di Jogja, kota pelajar, betapa banyak sekolah-sekolah tersebar di sana-sini dengan mematok rupiah yang tinggi untuk mendapatkan kualitas. Brosur-brosur, leaflet, pengumuman, iklan surat kabar dan banyak lagi seolah memberi garis bawah bahwa yang berkualtas itu ya mesti mahal
Saya mencoba mengilustrasikannya secara kasar sebagai berikut:
Terlukis di
Pendidikan digunakan agar yang dididik menjadi siap pakai (baca: untuk mencari uang). Semakin tinggi pendidikan, asumsinya akan mendapatkan uang yang semakin besar. Padahal, uang yang semakin besar itu diperlukan untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Di sisi lain, jika pendidikan rendah, murah, akan menyebabkan output yang tidak kompetitif, tidak mampu bersaing dan akhirnya kalaupun menghasilkan uang juga tidak seberapa. Uang yang tidak seberapa tidak akan bisa membiayai pendidikan yang tinggi. Berikut ada skema di salah satu blog yang melihat bahwa tujuan pendidikan secara praktis adalah menghasilkan tenaga siap pakai (seperti konsepsi yang dibangun mantan mendiknas Wardiman Joyonegoro)
Apa yang salah dari lingkaran di atas?Mengapa semuanya menjadi sangat natural dan tidak tersangkalkan?
***
Berbicara pendidikan adalah berbicara tentang bagamana manusia bisa dibentuk, bisa pandai, bisa menjawab tantangan hidup dll. Islam menyebutnya sebagai membentuk manusia yang beramal soleh, artinya bisa bermanfaat dan bisa menjauhkan dari mudharat. Maka, untuk itu komoditas pendidikan adalah ilmu dan pengetahuan tentang sesuatu.
Proses pembelajaran di dalam suatu lembaga pendidikan bertujuan untuk mendidik seseorang agar pengetahuan dan keterampilannya bertambah. Ilmunya bertambah sehingga dia punya modal pemikiran untuk menjawab semua tantangan hidup yang berkaitan dengan keilmuannya itu.
Mari kita gunakan bahasa yang lebih sederhana: pendidikan adalah merubah manusia yang bodoh menjadi pandai. Pendidikan mengetik membuat manusia yang tidak bisa mengetik menjadi mahir mengetik. Pendidikan Bahasa Inggris membuat manusia yang tidak bisa berbahasa Inggris menjadi bisa berbahasa Inggris. Pendidikan Ekonomi membuat manusia yang tadinya berpotensi miskin menjadi manusia yang berpotensi kaya. Pendidikan Kedokteran merubah manusia yang tadinya tidak bisa menolong orang sakit menjadi manusia yang bisa menolong orang sakit.
Saya perlu menambahkan teknologi dalam bahasan ini, karena ternyata dalam konteks pendidikan modern, variabel teknologi ternyata tidak bisa dikedepankan. Apakah teknologi itu? Teknologi adalah cara, metode, dalam bentuk sederhana maupun kompleks, berbentuk pemikiran maupun dalambentuk kasab mata berupa peralatan, sehingga kerja-kerja manusia, kegiatan-kegiatan manusia berubah menjadi lebih baik lagi. Makanya, perkembangan pendidikan akan berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Sementara perkembangan zaman berjalan seiring dengan perkembangan teknologi. Sederhananya, teknologi membuat sesuatu yang tadinya sukar menjadi tersiasati dan berubah jadi lebih mudah.
Kalau sudah demikian ideal, bukankah semestinya pendidikan akan bersifat universal dan semua orang berhak memperolehnya, termasuk orang miskin. Lalu bagaimana logikanya ketika orang miskin seolah tidak bisa dan tidak berhak mendapat pendidikan?
Di sinilah persoalan keberpihakan dari pemegang kebijakan pendidikan dalam sebuah masyarakat harus dibereskan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar